Kamis, 13 Maret 2014

Menjaga tradisi di tanah rantau

Seorang ibu menuntun anaknya di kalangan saat sedang menari
Jauh dari tanah kelahiran bukan berarti tercerabut dari budayanya. masyarakat bali yang bermukim di kota kupang senantiasa menjada kebudayaan warisan leluhur. anak-anak yang terlahir di tanah rantau harus tetap diajarkan kebudayaan leluhurnya. 

Saniscara Umanis Watugunung atau lebih dikenal hari saraswati dimaknai sebagai turunya ilmu pengetahuan ke muka bumi. Sabtu (8/3) lalu untuk pertama kalinya saya mengikuti perayaan sarawati di kampung baru saya  (kota kupang-red). Kalau di Bali, perayaan hari saraswati dihiasi hiruk pikuk para siswa, mahasiswa, dan umat hindu lainnya bersembahyang ke pura di sekolah atau kampus masing-masing, berbeda halnya di kota karang ini. perayaan hari saraswati dirayakan terpusat di beberapa pura yang ada di kota kupang. Saya mengikuti persembahyangan di pura "Giri Kerta Bhuana" yang berlokasi di kholhua, jalur 40 kupang. selain perayaan hari saraswati, pada hari yang sama merupakan "petoyan" di pura ini. Berangkat sekitar pukul 18.00, saya annora (oya), dan mamanya antusias akan mengikuti acara. sepanjang perjalanan oya asik melafalkan lagunya yang dipelajari sejak pagi. celotehnya sangat menghibur perjalan yang kami tempuh kurang lebih selama 20 menit itu.
Sampai di pura, prosesi persembahnyangan segera dimulai. para "pemedek' sudah duduk rapi bersiap mengikuti persembahyangan. kami bergegas masuk bergabung dalam jejeran pemedek tadi. namun perhatian oya justru beberalih kesebuah sudut di jaba tengah pura Giri Kerta Bhuana. sekelompok anak-anak sedang berhias, memakai kostum beberapa tari. "bapaaaak...... igeng pak...." jerit oya dengan ekspresi histeris. maklum saja, anak ini sangat menyukai tari-tarian. Namun kami tetap bergegas mengikuti persembahyangan.  
Sembahyang selesai, pemandu acara menyampaikan beberapa pengumuman. saya tidak terlalu ingat pengumuman apa saya yang disampaikan. pengumuman yang paling diingat adalah setelah persembahyangan, di Jaba Tengah akan ada pertunjukkan tari lepas. Mendengar pengumuman ini, kami segera beranjak ke lokasi balih-balihan (pertunjukan-red) itu. Ekspresi oya sudah dapat dibayankan. Dia sumringah kegirangan melihat anak-anak kecil berdandan memakai kostum tarian. selang beberapa lama, pertunjukkan dimulai. saya sangat terkesan dengan acara ini. meski di tanah rantau, ternya putra-putri bali sangat antusias melestarikan kebudayaannya. sejak kecil mereka dilatih menari sama halnya anak-anak di tanah kelahirannya. yang lebih menari lagi beberapa penarinya masih sangat kecil. Ada yang dipertengahan tarian dibopong masuk arena pertunjukan oleh ibunya. Anak kecil itu berhias halnya penari lainnya. Namun kelihatannya anak ini mengalami demam pangung. selan beberapa saat dia memanggil ibunya minta ditemani. Menari ditengah "kalangan" ditemani ibunya. Alhasil ibunya juga menjadi tontonan. Namun saya tidak akan membahas ibu-ibu yang menjadi tontonan ini. Disamping durasi waktunya yang singkat, karena sang ibu memilih membopong si anak keluar arena pertunjukan, tulisan ini hanya ingin memotret semangat anak-anak melestarikan budaya Bali di tanah rantau.

Pada Tari berikutnya, sekelompok anak laki-laki yang mendapat giliran menari. kembali lagi, diantara penari-penari itu, terselip satu orang anak kecil. namun kondisinya sedikit berbeda. nampaknya akan ini memiliki mental yang cukup untuk tampil di depan orang banyak. Anak ini tetap asik menari sesuka hati, meski tidak seirama dengan penari lainnya. namun kemabali yang mengagumkan adalah mereka masih memiliki hasrat untuk menari Bali meski jauh dari tanah Bali. Suasanya sangat bali, dengan ornamenya yang menyerupai arena pagelaran tari di Bali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar