Rabu, 18 Oktober 2017

Ujian Take Home Manajemen Agribisnis Semester Ganjil 2017/2018

Bagi mahasiswa saya yang sedang menempuh mata kuliah Manajemen Agribisnis pada semester Ganjil 2017/2018, untuk mengakses soal silahkan klik link soal Akutansi manajemen di bagian akhir nanti. tapi sebelum itu, pastikan kalau anda telah terdaftar atau memiliki acount google. Perlu saya sampaikan bahwa apabila kita memiliki account google, maka kita akan mendapatkan berbagai fasilitas selain email (gmail.com). salah satunya adalah google drive, yang didalamnya juga tersedia google form. apa itu google form ? google form adalah fasilitas yang disediakan oleh google untuk membuat form (formulir) yang dapat diisi secara on line (terbatas oleh setiap pemilik account google). form ini dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan, dan saya menggunaknnya untuk memberikan ujian kepada peserta mata kuliah yang saya ampu. kenapa google form ? banyak manfaatnya dah... baik si mahasiswa maupun dosenya, seperti yang sudah saya ceritakan diawal.



Nah pada kesempatan ini, saya akan menuntun bagaimana mengikuti ujian dengan google form ini. terlebih dahulu pastikan bahwa kamu telah memiliki account di google (memiliki email google (@gmail.com). kalau sudah punya account google, maka kalian akan dapat mengakses form yang telah saya siapkan. dimana formnya ? sabar dulu!!!. sebelum itu, perlu saya ingatkan bahwa setiap mahasiswa hanya dapat mengirim jawaban satu kali, apabila sudah meng-KLIK kirim, maka itu dianggap sebagai jawaban final. jadi  bacalah kembali dengan teliti jawaban anda dan jawab sesuai dengan petujuk. 



Tuliskan jawaban saudara di dalam kotak yang tersedia di bawah setip pertanyaan. setiap pertanyaan dipersyaratkan untuk memasukkan referensi, tuluskan refernsi pada kalimat yang dikutif, misalnya manajemen adalah ..... (Nampa, 2016). dan di bagian akhir jawaban sertakan pustaka lengkap contohnya: Nampa, W. 2016. Pengertian Manajemen Agribisnis. Undana press, Kupang. apabila menggunakan referensi yang bersumber dari sumber on line, maka pada bagian belakang harus ditambahkan "diakses melalui http//:....... pada tanggal ........" kembali diingatkan bahwa setiap pengunjung form ini hanya dapat mengirimkan respons/jawaban satu kali saja. Jadi tolong baca ulang sebelum mengirim, dan jangan pernah mengirim jawaban sebelum selesai dan merasa jawaban sudah final. Ada baiknya setiap jawaban di simpan, dan di print screen untuk disimpan.

Baik untuk dapat mengakses soal silahkan KLIK DISINI. kemudian kerjakan soal hingga batas waktu yang diberikan. 



Selamat Bekerja!!!


Rabu, 11 Oktober 2017

Erupsi gunung agung, bencana atau anugrah ?

Gunung Agung di Kejauhan
foto diambil dari halaman facebook
@Diana Putra Baja
Setiap proses adalah anugrah, begitulah orang bali dalam pandangan saya yang selalu memaknai peristiwa sebagai anugrah. Begitu juga peristiwa erupsi Gunung Agung 1963, para tetua lebih sering bercerita tentang “pice” gunung agung bukan bencana gunung agung.

Tulisan ini saya tulis sambil menunggu pesawat yang menjemput kami di bandara Tambolaka untuk pulang ke Kota Kupang. Kota dimana saya berasama keluarga kecil saya empat tahun trakhir tinggal. Saya menuliskan ini sebagai catatan kecil an refleksi atas peristiwa meningkatknya aktivitas Gunung Agung beberapa pecan terakhir ini. Sepekan lebih sanak saudara saya di kaki gunung agung (Bali) tinggal di pengungsian. Banyak cerita heroik penyamabrayaan yang muncul atas peristiwa ini. ada juga catatan kerikil kecil termasuk sindiran salah seorang pejabat yang menyampaikan ada yang “mencuri” pangunggung dalam peristiwa ini. Namun dalam tulisan ini saya tidak akan mengulas kedua hal tersebu, saya mencoba merefleksikan kehidupan masa kecil saya yang masih sangat akrab dengan peristiwa erupsi tahun 1963.

Saya lahir dan besar di sebuah perkampungan dengan penduduk tidak lebih dari 100 kepala keluarga saat itu, namanya Dusun Langkan, yang sempat ditinggal mengungsi ketika datangnya pasukan mayadenawa ke Bali. Kampong ini berada pada radius 15 km dari gunung agung, yang pada letusan tahun 1963, kami (tepatnya para tetua kami) juga mendapat bagian “pice”. Berdasarkan berbagai catatan, peristiwa 1963 ini  menimbulkan dampak yang luar biasa besar. Desa saya pada radius 15 km juga terkena dampak hujan pasir, sedikit batu apung, dan juga hujan abu. Orang tua kami menceritakan pada saat itu “petenge mesambung” (malam  bersambung-red). Saya generasi 1980-an hanya mendengar cerita dari peristiwa itu. Bekas yang bisa kami jumpai adalah para orang tua kami harus bekerja extra keras mencangkul sedalam setengah sampai satu meter agar pasir pice dapat bercampur “tanah isi” (Tanah liat-red) yang merupakan tanah asli sebelum letusan. Bayangkan bagaimana beratnya mencangkul dan membalik tanah sedalam itu untuk semua areal tanah tegalan. Tapi itulah satu-satunya jalan agar tetua kami dapat bertani, tanaman dapat tumbuh dengan baik. Dua Puluh tahun lebih para tetua kami berusaha melakukan pengolahan tanah sehingga dapat berproduksi secara baik. Tapi satu pelajaran yang menarik saya dapat petik adalah, tidak pernah ada cerita bencana dalam setiap cerita orang tuang kami. Mereka lebih suka menyebutnya “pica (paica)” yang mungkin dapat saya padankan dengan anugrah atau pemberian. Cuplikan cerita yang sering kami dengar dari tetua waktu itu seperit pada cuplikan ini.

Duk picane inguni, petenge mesambung, kangin diduur gunung agunge meleput andus selem care punyan bingi. Raab umahe memunyi kratik-kratik, di natahe biase ngancan negehang. Sing ade anak bani pesu dugas ento. (terjemahan: waktu peritiwa letusan gunung agung, malam bersambung, di puncak gunung agung asap mengepul tinggi menyeupai pohon beringin. Kratik-kratik suara hujan pasir terdengan di atap rumah, pasir di halaman semakin tinggi. Tidak ada orang yang berani keluar rumah waktu itu)

Setiap peristiwa dimaknai sebagai anugrah. Kami percaya alam atas kuasa ida sang hyang widhi (Tuhan Yang maha Esa) selalu memiliki cara dalam menjaga keseimbangan. Sepahit apapun peristiwa itu, di masa mendatang kita akan menemukan jawabannya bahwa peristiwa itu memang harus terjadi.  Dan betul adanya, sampai saat ini anugrah berupa pasir dan batu bentul-betul menjadi “pice” bagi masyarakat terdampak. Pica pasir ini memberikan berkah kepada pemilik lahan sehingga menjadi sumber penghidupan. Hingga hari ini, saya tidak tau berapa truk pasir dikirim untuk pembangunan infrastruktur, perumahan dan sebagainya. Batu hitam yang trend sejak dipugarnya pura besakir menggunakan batu hitam gunung agung juga menjadi berkah. Trend batu karangasem (sebutan khas batu hitam bekas lahar gunung agung ini) mewarnai bagunan tidak saja di karangasem, tetapi daerah lainnya di Bali, bahkan pura jagatnatha di Kota Kupang, kota tempat saya tinggal saat ini juga dibangun menggunakan batu hitam karangasem. Salah satu bale kulkul yang menurut saya sangat iconic di ujung utara jalan Nusa Indah Denpasar sekitar sepuluh tahun lalu dipugar dan diganti dengan batu hitam karangasem. Jadi, peristiwa tahun 1963 menurut saya betul-betul merupakan “pice”.


Nah, dalam menerima atau mencari annugrah kita perlu bersabar. Saat saya menulis catatan kecil ini, mungkin sanak saudara saya sudah mulai jenuh, kesehatan menurun, dan ingin kembali pulang. Disnilah ujian kesabaran dalam menyambut “pice” ini. kita tidak pernah tahu kapan berkah ini akan diberikan oleh Hyang Widhi. Mudah-mudahan para kerabat yang pengungsian masih tetap sabar sambil menunggu kepastiaanya. Kesabaran dan kearifan juga harus kita jaga ketika para sanak ini nantinya menggunakan “pica” ini sebagai salah satu sumber penghidupannya. Kadang kita secara tidak sabar (kalau tidak mau dibilang egois) melarang saudara kita memanfaatkannya, bahkan untuk fasilitas yang kita gunakan sendiri sekalipun. Salah satu keegoan kita mungkin bisa lihat hasilnya pada truk-truk pengangkut pasir “pica” gunung batur yang tidak diperbolehkan melewati jalan umum penelokan, pada malam hari sekalipun. Padahal saya yakin dalam pembuatan jalan tersebut menggunakan bahan tambang dari “pice” tadi. Sangat sering saya mendengar melalui media sosial ada truk yang terjatuh ke jurang di tepi jalan yang terjal. Jalan ini pernah saya lalui dengan sepeda motor, dan saya merasa ngeri-ngeri sedap melewatinya. Tidak terbayangkan bagi saya kalau harus mengemudikan truk menanjak dan sarat muatan. Tapi tak-apalah, karena konon katanya daerah ini telah ditetapkan menjadi warisan dunia, warisan sedikit menyakitkan bagi sebagian ahli warisnya.

WN