Gunung Agung di Kejauhan foto diambil dari halaman facebook @Diana Putra Baja |
Setiap proses
adalah anugrah, begitulah orang bali dalam pandangan saya yang selalu memaknai
peristiwa sebagai anugrah. Begitu juga peristiwa erupsi Gunung Agung 1963, para
tetua lebih sering bercerita tentang “pice” gunung agung bukan bencana gunung
agung.
Tulisan ini saya
tulis sambil menunggu pesawat yang menjemput kami di bandara Tambolaka untuk
pulang ke Kota Kupang. Kota dimana saya berasama keluarga kecil saya empat
tahun trakhir tinggal. Saya menuliskan ini sebagai catatan kecil an refleksi
atas peristiwa meningkatknya aktivitas Gunung Agung beberapa pecan terakhir ini.
Sepekan lebih sanak saudara saya di kaki gunung agung (Bali) tinggal di
pengungsian. Banyak cerita heroik penyamabrayaan yang muncul atas peristiwa
ini. ada juga catatan kerikil kecil termasuk sindiran salah seorang pejabat
yang menyampaikan ada yang “mencuri” pangunggung dalam peristiwa ini. Namun dalam
tulisan ini saya tidak akan mengulas kedua hal tersebu, saya mencoba merefleksikan
kehidupan masa kecil saya yang masih sangat akrab dengan peristiwa erupsi tahun
1963.
Saya lahir dan
besar di sebuah perkampungan dengan penduduk tidak lebih dari 100 kepala
keluarga saat itu, namanya Dusun Langkan, yang sempat ditinggal mengungsi
ketika datangnya pasukan mayadenawa ke Bali. Kampong ini berada pada radius 15
km dari gunung agung, yang pada letusan tahun 1963, kami (tepatnya para tetua
kami) juga mendapat bagian “pice”. Berdasarkan berbagai catatan, peristiwa 1963
ini menimbulkan dampak yang luar biasa
besar. Desa saya pada radius 15 km juga terkena dampak hujan pasir, sedikit
batu apung, dan juga hujan abu. Orang tua kami menceritakan pada saat itu
“petenge mesambung” (malam
bersambung-red). Saya generasi 1980-an hanya mendengar cerita dari peristiwa
itu. Bekas yang bisa kami jumpai adalah para orang tua kami harus bekerja extra
keras mencangkul sedalam setengah sampai satu meter agar pasir pice dapat bercampur “tanah isi” (Tanah
liat-red) yang merupakan tanah asli sebelum letusan. Bayangkan bagaimana
beratnya mencangkul dan membalik tanah sedalam itu untuk semua areal tanah
tegalan. Tapi itulah satu-satunya jalan agar tetua kami dapat bertani, tanaman
dapat tumbuh dengan baik. Dua Puluh tahun lebih para tetua kami berusaha
melakukan pengolahan tanah sehingga dapat berproduksi secara baik. Tapi satu
pelajaran yang menarik saya dapat petik adalah, tidak pernah ada cerita bencana
dalam setiap cerita orang tuang kami. Mereka lebih suka menyebutnya “pica
(paica)” yang mungkin dapat saya padankan dengan anugrah atau pemberian. Cuplikan
cerita yang sering kami dengar dari tetua waktu itu seperit pada cuplikan ini.
Duk picane inguni, petenge
mesambung, kangin diduur gunung agunge meleput andus selem care punyan bingi. Raab
umahe memunyi kratik-kratik, di natahe biase ngancan negehang. Sing ade anak
bani pesu dugas ento. (terjemahan: waktu peritiwa
letusan gunung agung, malam bersambung, di puncak gunung agung asap mengepul
tinggi menyeupai pohon beringin. Kratik-kratik suara hujan pasir terdengan di
atap rumah, pasir di halaman semakin tinggi. Tidak ada orang yang berani keluar
rumah waktu itu)
Setiap peristiwa
dimaknai sebagai anugrah. Kami percaya alam atas kuasa ida sang hyang widhi
(Tuhan Yang maha Esa) selalu memiliki cara dalam menjaga keseimbangan. Sepahit
apapun peristiwa itu, di masa mendatang kita akan menemukan jawabannya bahwa
peristiwa itu memang harus terjadi. Dan
betul adanya, sampai saat ini anugrah berupa pasir dan batu bentul-betul
menjadi “pice” bagi masyarakat terdampak. Pica pasir ini memberikan berkah
kepada pemilik lahan sehingga menjadi sumber penghidupan. Hingga hari ini, saya
tidak tau berapa truk pasir dikirim untuk pembangunan infrastruktur, perumahan
dan sebagainya. Batu hitam yang trend sejak dipugarnya pura besakir menggunakan
batu hitam gunung agung juga menjadi berkah. Trend batu karangasem (sebutan
khas batu hitam bekas lahar gunung agung ini) mewarnai bagunan tidak saja di
karangasem, tetapi daerah lainnya di Bali, bahkan pura jagatnatha di Kota
Kupang, kota tempat saya tinggal saat ini juga dibangun menggunakan batu hitam
karangasem. Salah satu bale kulkul yang menurut saya sangat iconic di ujung utara
jalan Nusa Indah Denpasar sekitar sepuluh tahun lalu dipugar dan diganti dengan
batu hitam karangasem. Jadi, peristiwa tahun 1963 menurut saya betul-betul
merupakan “pice”.
Nah, dalam
menerima atau mencari annugrah kita perlu bersabar. Saat saya menulis catatan
kecil ini, mungkin sanak saudara saya sudah mulai jenuh, kesehatan menurun, dan
ingin kembali pulang. Disnilah ujian kesabaran dalam menyambut “pice” ini. kita
tidak pernah tahu kapan berkah ini akan diberikan oleh Hyang Widhi. Mudah-mudahan
para kerabat yang pengungsian masih tetap sabar sambil menunggu kepastiaanya. Kesabaran
dan kearifan juga harus kita jaga ketika para sanak ini nantinya menggunakan
“pica” ini sebagai salah satu sumber penghidupannya. Kadang kita secara tidak
sabar (kalau tidak mau dibilang egois) melarang saudara kita memanfaatkannya,
bahkan untuk fasilitas yang kita gunakan sendiri sekalipun. Salah satu keegoan
kita mungkin bisa lihat hasilnya pada truk-truk pengangkut pasir “pica” gunung
batur yang tidak diperbolehkan melewati jalan umum penelokan, pada malam hari
sekalipun. Padahal saya yakin dalam pembuatan jalan tersebut menggunakan bahan
tambang dari “pice” tadi. Sangat sering saya mendengar melalui media sosial ada
truk yang terjatuh ke jurang di tepi jalan yang terjal. Jalan ini pernah saya
lalui dengan sepeda motor, dan saya merasa ngeri-ngeri sedap melewatinya. Tidak
terbayangkan bagi saya kalau harus mengemudikan truk menanjak dan sarat muatan.
Tapi tak-apalah, karena konon katanya daerah ini telah ditetapkan menjadi
warisan dunia, warisan sedikit menyakitkan bagi sebagian ahli warisnya.
WN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar