Minggu, 17 Maret 2019

Laporan Rugi laba (Variable costing dan Full Costing)


Materi ini adalah materi pertemuan ke-6 mata kuliah akutansi manajemen. pertemuan hari ini, kita akan menggunakan media BLOG, dan Classroom sebagai ruang kuliah kita. tpoik bahasan kita adalah penyelesaian laporan Rugi-Laba baik dengan metoda variable costing dan full costing. materi ini adalah lanjutandari materi yang telah kita bahas di pertemuan ke 5 tentang harga pokok produksi dengan metoda biaya variabel (Variable costing dan biaya total (full Costing). olehkarenanya, sebelum kita masuk ke rugi laba, maka kita akan sedikit membahas kembali biaya variabel dan biaya total.  Sebelum melanjutkan diskusi, perlu saya deklarasikan bahwa materi yang disampaikan dihimpun dari berbagai sumber yang tidak dikutif secara khusus dalam tulisan ini.

Perbedaan Variabel Costing Dengan Full Costing yaitu Menurut absorption costing atau full costing, harga pokok produk meliputi seluruh komponen biaya yang dikeluarkan untuk membuat produk. Harga pokok produk menurut metode ini: bahan baku, tenaga kerja langsung, overhead variabel dan overhead tetap. perbedaan kedua metoda ini adalah pada pembebanan biaya terhadap produk, yang terlihat ketika stok tersisa di perioda berikutnya. 

1.     Harga Pokok Per Unit dan Total
Ø  Perbedaan pertama adalah dalam harga pokok per unit dan harga pokok total.
Contoh: Perusahaan ABC pada tahun 2018 memproduksi 10.000 kaleng susu dengan data biaya sesungguhnya sebagai berikut:
Elemen Biaya
Total
Per Unit
Bahan baku
Upah langsung
Overhead variabel
Overhead tetap
Rp. 100.000,-
Rp. 200.000,-
Rp. 150.000,-
Rp. 250.000,-
Rp. 10,-
Rp. 20,-
Rp. 15,-
Rp. 25,-

Jika perusahaan ABC menggunakan harga pokok sesungguhnya, maka harga pokok per unit dan total dari dua metode tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

TABEL 1. HARGA POKOK PRODUK
VARIABEL COSTING VS ABSORPTION COSTING
Elemen Biaya
Variabel Costing
full Costing

Per Unit (Rp)
Total (Rp)
Per Unit (Rp)
Total (Rp)
Bahan baku
Upah langsung
Overhead variabel
Overhead tetap
10,-
20,-
15,-
-
100.000,-
200.000,-
150.000,-
-
10,-
20,-
15,-
25,-
100.000,-
200.000,-
150.000,-
250.000,-
Jumlah
45,-
450.000,-
70,-
700.000,-

Ø  Dari tabel diatas menunjukkan bahwa harga pokok produk per unit menurut variabel costing adalah Rp. 45,- dan menurut absorption costing adalah Rp. 70,-. Selisih Rp. 25.,- terjadi karena varibel costing tidak memasukkan overhead tetap, sedangkan full costing memasukkannya sebagai komponen harga pokok produk. Karena harga pokok per unitnya berbeda, maka harga pokok totalnya juga berbeda. Perbedaannya adalah Rp. 250.000,- yakni overhead tetap total tahun 2018. Jumlah tersebut diakui oleh variabel costing sebagai biaya periode (period cost).
1.     Oeverhead Lebih (Kurang) Dibebankan
Ø Perbedaan kedua adalah adanya overhead lebih (kurang) dibebankan yang mungkin terjadi pada absorption costing jika pembebanan overhead ke produk menggunakan tarif standar atau tarif yang ditentukan di muka.
Ø Pembebanan overhead ke produk dapat dilakukan dengan dua metode:
a.          Membebankan overhead yang sesungguhnya telah dikeluarkan
b.         Membebankan overhead ke produk dengan menggunakan tariff yang ditentukan di muka, metode ini digunakan untuk kepentingan perencanaan dan pengendalian overhead pabrik.
Pembebanan overhead ke produk dengan tariff yang ditentukan dimuka menggunakan prosedur sebagai berikut:
1.         Penentuan besarnya anggaranoverhead dan kapasitas produksi untuk menentukan tariff. Ada beberapa kapasitas yang dapat digunakan untuk menentukan tariff, diantaranya adalah kapasitas normal.
2.         Penentuan tariff overhead
3.         Pembebanan overhead ke produk
Contoh:
Untuk tahun 1993 sebuah perusahaan minuman menetapkan anggaran overhead tetap sebesar Rp. 250.000,- dan anggaran overhead variabel sebesar Rp. 187.500,- dengan kapasitas normal 12.500 kaleng minuman. Dengan data ini, tariff overhead yang ditentukan dimuka per kaleng adalah Rp. 35,- sebagaimana perhitungan berikut:

Tarif Overhead Per Kaleng  = Anggarang Biaya Overhead
                                                         Kapasitas Normal
                                             = Rp. 250.000,- + Rp. 187.500,-
                                                                     12.500
                                             = Rp. 437.500,-
                                                      12.500
                                             = Rp. 35,-
Tarif sebesar Rp. 35,- di atas terdiri atas tariff tetap Rp 20,- (Rp. 250.000,- dibagi 12.500) dan tariff variabel Rp. 15,- ( Rp. 187.500 dibagi 12.500)
Jika pada tahun 1993 jumlah produksi yang sesungguhnya dihasilkan adalah 10.000 kaleng maka overhead yang dibebankan ke produk ke produk adalah Rp. 350.000,- yakni tariff dikalikan unit produk yang dihasilkan  (Rp. 35,- x 10.000)
c.          Menghitung Overhead Lebih (Kurang) Dibebankan
Ø  Apabila perusahaan menggunakan tariff overhead yang ditentukan dimuka, mungkin akan timbul biaya overhead lebih (kurang) dibebankan.
Ø  Pembebanan lebih terjadi apabila kapasitas sesungguhnya lebih besar daripada kapasitas normal.
Ø  Sebaliknya, pembebanan kurang terjadi apabila kapasitas sesungguhnya lebih kecil daripada kapasitas normal.
Contoh:
Dengan contoh perusahaan ABC diatas, pembebanan lebih (kurang) dapat dijelaskan sebagai berikut:
TABEL 2 HARGA POKOK YANG DIBEBANKAN KE PRODUK
VARIABEL COSTING VS ABSORPTION COSTING
Elemen Biaya
Variabel Costing
Absorption Costing

Per Unit (Rp)
Total (Rp)
Per Unit (Rp)
Total (Rp)
Bahan baku
Upah langsung
Overhead variabel
Overhead tetap
10,-
20,-
15,-
-
100.000,-
200.000,-
150.000,-
-
10,-
20,-
15,-
20,-
100.000,-
200.000,-
150.000,-
200.000,-
Harga Pokok Produk
45,-
450.000,-
65,-
650.000,-

Ø  Perhatikan perhitungan absorption costing pada Tabel 2. harga pokok produk yang dibebankan ke produk per unit adalah Rp. 65,- dan total Rp. 650.000,-. Harga pokok sesungguhnya bukanlah sebesar itu melainkan Rp. 70,- per unit dan Rp. 700.000,- seperti pada table 4.3
Ø  Pada Tabel 2 dan Tabel 3 nyata benar bahwa harga pokok produk dengan menggunakan tariff yang ditentukan dimuka adalah Rp. 650.000,- sedangkan menurut harga pokok produk yang sesungguhnya adalah rp. 700.000,-. Selisih Rp. 50.000,- berasal dari selisih overhead. Overhead yang dibebankan ke produk dengan menggunakan tariff di muka Rp. 350.000,- (tetap Rp. 200.000,- + variabel Rp. 150.000,-), sedangkan yang sesungguhnya Rp. 400.000,-. Jadi overhead yang dibebankan ke produk lebih kecil daripada overhead yang sesungguhnya. Itulah overhead kurang dibebankan yang merupakan selisih tidak menguntungkan.

TABEL 3. HARGA POKOK SESUNGGUHNYA
MENURUT ABSORPTION COSTING
Elemen Biaya
Per Unit
Total
Bahan baku
Upah langsung
Overhead variabel
Overhead tetap
Rp. 10,-
Rp. 20,-
Rp. 15,-
Rp. 25,-
Rp. 100.000,-
Rp. 200.000,-
Rp. 150.000,-
Rp. 250.000,-
Harga Pokok Sesungguhnya
Rp. 70,-
Rp. 700.000,-

Ø  Berapapun jumlah produksi, overhead tetap yang sesungguhnya berjumlah Rp. 250.000,-. Dengan demikian maka tariff overhead per unit yang sesunggunya adalah Rp. 25,- (Rp. 250.000: 10.000)
Ø  Mengapa dalam contoh ini terjadi selisihoverhead kurang dibebankan? Sebabnya, kapasitas sesungguhnya (10.000 kaleng) lebih kecil daripada kapasitas normal (12.500 kaleng).
Ø  Rumus menghitung selisih kapasitas adalah sebagai berikut:

SK = (KS-KN) x TT


 


Keterangan:
SK          : Selisih Kapasitas
KS          : Kapasitas Sesungguhnya
KN          : Kapasitas Normal (yang dipergunakan untuk menghitung tarif overhead)
TT          : Tarif overhead tetap per unit yang ditentukan di muka
Berdasarkan rumus diatas, selisih overhead kurang dibebankan (selisih kapasitas) dapat dihitung sebagai berikut:

                           SK       = (10.000 – 12.500) x Rp. 20,-
                                       = -500 x Rp. 20,-
                                       = - Rp. 50.000,-
(tanda minus menunjukkan selisih tidak menguntungkan)          
Ø  Pembebanan kurang (lebih) hanya terjadi pada absorption costing. Inilah perbedaan antara variabel costing dan absorption costingjika overheadnya menggunakan tariff yang ditentukan di muka.

2.     Penyajian di Laporan Rugi Laba
Ø  Menurut variabel costing menggunakan format contribution margin, yakni menyajikan informasi dengan mengurangkan  lebih dahulu seluruh biaya variabel dari penjualan baru kemudian mengurangkannya dengan seluruh biaya tetap. Laporan dengan format ini hanya dipergunakan untuk laporan intern dan dilarang dipergunakan untuk laporan ekstern, karena tidak sesuai dengan prinsip akuntansi yang lazim.
Ø  Menurut absorption costing menggunakan pendekatan fungsional, yakni mengurangkan seluruh biaya produksi (variabel dan tetap) dari penjualan dan kemudian mengurangkannya dengan biaya-biaya operasi yang diklasifikasikan menurut fungsi-fungsi pokok perusahaan. Laporan dengan format inilah yang diperbolehkan untuk pihak ekstern karena sesuai dengan prinsip akuntansi yang lazim.
Ø  Contoh
Untuk memberi gambaran, disajikan contoh penyajian laporan rugi-laba dengan menggunakan dua format tersebut. PT XYZ memproduksi makanan kalengan pada tahun 2014 dengan data produksi, penjualan dan biaya-biaya sesungguhnya adalah sebagai berikut:
Keterangan
Jumlah
Biaya bahan baku per unit
Biaya tenaga kerja langsung perunit
Biaya overhead variabel per unit
Biaya overhead tetap total
Biaya administrasi variabel per unit
Biaya penjualan variabel per unit
(biaya administrasi dan penjualan variabel per unit adalah variabel terhadap jumlah penjualan)
Biaya penjualan tetap total
Biaya administrasi tetap total
Produksi sesungguhnya 2014 sebanyak
Jumlah yang diproduksi seluruhnya terjual dengan harga jual per unit
Rp. 10,-
Rp. 20,-
Rp. 15,-
Rp. 250.000,-
Rp. 5,-
Rp. 3,-



Rp. 1.000.000,-
Rp. 500.000,-
10.000 kaleng
Rp. 300,-

Ø  Untuk tahun 2014 PT XYZ menganggarkan biaya overhead tetap total Rp. 250.000,- dan biaya overhead variabel total Rp. 187.500,- . jadi anggaran biaya overhead totanya adalah Rp. 437.500,- . Anggaran ini didasarkan pada kapasitas normal 12.500 kaleng.
Ø  Laporan rugi laba dengan format contribution margin

PERUSAHAN XYZ
LAPORAN RUGI LAPA PERIODE 2014
Penjualan 10.000 kaleng @ Rp. 300,-
Harga Pokok Penjualan 10.000 kaleng @ Rp. 45,-
Manufacturing Margin
Biaya administrasi dan penjualan variabel
    10.000 kaleng @ Rp. 8,- (Rp. 5,- + Rp. 3,-)
Contribution Margin
Biaya Tetap:
Administrasi              Rp.    500.000,-
Penjualan                   Rp. 1.000.000,-
Overhead pabrik        Rp.    250.000,-
Rp. 3.000.000,-
Rp.    450.000,-
Rp. 2.550.000,-

Rp.     80.000,-
Rp. 2.470.000,-




Rp. 1.750.000,-
Laba Bersih
Rp.    720.000,-



Harga pokok penjualan dapat di hitung dengan cara sebagai berikut:
Persedian awal
Biaya Produksi:
Bahan 10.000 x Rp. 10,-                          Rp. 100.000,-
Upah langsung 10.000,- x Rp. 20,-          Rp. 200.000,-
Overhead variabel 10.000,- x Rp. 15,-     Rp. 150.000,-

Persedian tersedia dijual 10.000 x Rp. 45,-
Persedian akhir 0 x Rp. 45,-
Rp. 0,-




Rp. 450.000,-
Rp. 450.000,-
Rp. 0,-
Harga Pokok Penjualan
Rp. 450.000,-

Ø  Laporan dengan format pendekatan fungsional
PERUSAHAAN XYZ
LAPORAN RUGI LABA PERIODE 2014
Penjualan 10.000 kaleng @ Rp. 300,-
Harga pokok penjualan 10.000 kaleng @ Rp. 65,-
Overhead tetap kurang dibebankan
(10.000 – 12.500) @ Rp. 20,-
Harga Pokok Penjualan sesungguhnya
Laba Bruto

Biaya Operasi
Administrasi                  Rp.     530.000,- (b)
Penjualan                       Rp.  1.050.000,- (c)

Total Biaya Operasi

Rp. 3.000.000,-
Rp.    650.000,- (a)

Rp.     50.000,- (+)
Rp.   700.000,- (-)
Rp. 2.300.000,-





Rp. 1.580.000,- (-)
Laba Bersih
Rp.    720.000,-

a.          Harga Pokok Penjualan dapat dihitung sebagai berikut:
Persediaan awal                                                                               Rp. 0,-
Biaya Produksi
Bahan 10.000 x Rp. 10,-                             Rp. 100.000,-
Upah langsung 10.000 x Rp. 20,-               Rp. 200.000,-
Overhead variabel 10.000 x Rp. 15,-           Rp. 150.000,-
Overhead tetap 10.000 x Rp. 20,-                Rp. 200.000,-
                                                                                                       Rp. 650.000,-
Persedian siap dijual                                                            Rp. 650.000,-
Persedian Akhir                                                                               Rp. 0,-
Harga Pokok Penjualan                                                                   Rp. 650.000,-
b.         Biaya Administrasi:
Variabel 10.000 x Rp. 5,-                            Rp.      50.000,-
Tetap                                                           Rp. 1.000.000,-
Biaya Administrasi Total                             Rp. 1.050.000,-
c.          Biaya Penjualan:
Variabel 10.000 x Rp. 3,-                            Rp.   30.000,-
Tetap                                                           Rp. 500.000,-
Biaya Penjualan Total                                 Rp. 530.000,-
Ø  Pada format contribution margin, terdapat istilah manufacturing margin. Istilah itu digunakan untuk menyebut penjualan dikurangi harga pokok penjualan variabel. Manufacturing margin dikurangi biaya non produksi variabel adalah contribution margin. Contribution margin dapat dihitung secara langsung dengan mengurangkan seluruh biaya variabel (produksi dan non produksi) dari hasil penjualan. Pembedaan antara manufacturing margin dan contribution margin ini sering dibuat agar manajemen dapat dengan mudah mengevaluasi secara terpisah prestasi kegiatan berproduksi dari fungsi penjualan dan administrasi
Ø  Format contribution margin, menurut para pendukungnya dapat membedakan antara cost of doing business dan cost of being in business. Cost of doing business tampak pada biaya-biaya variabel yang dikurangkan dari penjualan, yang naik dan turun sebanding dengan kenaikan dan penurunan tingkat kegiata. Sebaliknya cost of being in business tampak pada biaya-biaya tetap yang dikurangkan dari contribution margin. Biaya tetap ini menunjukkan biaya kapasitas yang dibutuhkan tanpa mengacuhkan volume kegiatan.
Ø  Menurut informasi dari dua laporan rugi-laba yang disusun dengan metode yang berbeda tampak dengan jelas bahwa laba bersih perusahaan adalah sama. Kondisi demikian terjadi jika produksi pada tahun tertentu terjual seluruhnya dan pada awal periode tidak ada persediaan.

3.     Laba Bersih
Ø  Perbedaan yang keempat antara variabel costing dan absorption costing adalah laba bersih pada periode tertentu jika jumlah unit yang diproduksi berbeda dengan jumlah unitbyang terjual.
Ø  Untuk mempermudah pemahaman, berikut adalah contoh dengan menggunakan data perusahaan XYZ diatas dengan modifikasi sebagai berikut:


Persediaan awal
Produksi
Penjualan
Persediaan akhir
2014
2015
2016
Dalam unit produk
0
2.000
1.000
10.000
11.000
13.000
8.000
12.000
12.500
2.000
1.000
1.500

Ø  Laba bersih tahunan menurut varibel costing dan absorption costing dari tahun 2014 sampai tahun 2016 dapat dilihat pada laporan-laporan berikut. Analisis perbedaan labanya dapat diikuti pada penjelasan berikut.
Ø  Perbedaan Laba Bersih 2014. Perhatikanlah dengan seksama bahwa laba bersih menurut varibel costing adalah Rp. 40.000,- lebih kecil darim pada laba bersih menurut absorption costing. Selisih ini disebabkan variabel costing mengakui seluruh overhead tetap Rp. 250.000,- sebagai periode cost, sedangkan absorption cost tidak mengakui seluruh overhead tetap tersebut. Bagian yang tidak diakui oleh absorption costing adalah overhead tetap yang melekat pada persedian akhir. Overhead tetap yang melekat pada persediaan akhir 2014 adalah 2.000 x Rp. 20,- = Rp. 40.000,-. Dengan demikian, overhead tetap yang ditandingkan dengan pendapatan tahun 2014 menurut absorption costing hanyalah Rp. 210.000,- (Rp. 250.000,- - Rp. 40.000,-). Oleh karena biaya yang diakui apada tahun 2014 menurut variabel costing lebih besar., laba bersih menurut metode tersebut adalah lebih kecil. Kesimpulan yang dapat ditarik dari contoh tersebut adalah jika dalam tahun tertentu jumlah unit yang diproduksi tidak seluruhnya terjual, maka laba bersih variabel costing lebih kecil dari pada laba bersih absorption costing.
Ø  Perbedaan Laba Bersih 2015. Laba bersih tahun 2015 menurut variabel costing Rp. 1.214.000,- dan menurut absorption costing Rp. 1.194.000,-. Selisih laba bersih adalah Rp. 20.000,-. Penyebab selisih ini ada dua hal.
a.          Overhead tetap Rp. 250.000,- diakui seluruhnya oleh variabel costing sebagai biaya pada tahun 2015. Sedangkan Rp. 20.000,- dari jumlah tersebut dari jumlah tersebut, oleh absorption costing dianggap masih melekat pada persediaan akhir. Oleh karena itu, jumlah Rp. 20.000,- tersebut ditangguhkan pembebanannya dari tahun2015.
b.         Overhead tetap tahun 2014 yang melekat pada persediaan awal 2015 sebesar Rp. 40.000,- oleh absorption costing diakui sebagai biaya pada tahun 2015, karena realisasi penjualannya baru terjadi pada tahun 2015. Pengakuan seperti ini tidak dilakukan oleh variabel costing.
Ø  Penyebab pertama mengakibatkan biaya tahun 2015 menurit variabel costing lebih besar sehingga laba bersihnya lebih kecil Rp. 20.000,-. Penyebab kedua mengakibatkan biaya tahun 2015 lebih kecil sehingga laba bersihnya lebih besar Rp. 40.000,-. Dengan demikian, secara total, laba bersih menurut variabel costing lebih besar Rp. 20.000,-. Dari kasus tahun 2015 ini kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut. Jika pada suatu tahun persediaan akhir lebih kecil daripada persediaan awal maka laba bersih menurut absorption costing lebih kecil.



PERHITUNGAN RUGI-LABA MENURUT
VARIABEL COSTING DAN ABSORPTION COSTING
TAHUN 2014
VARIABEL COSTING
ABSORBTION COSTING
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Manufacturing Margin
Biaya Administrasi& Penjualan Variabel
Contribution Margin
Biaya Tetap:
Administrasi
Penjualan
Overhead Pabrik







Rp.     500.000,-
Rp.  1.000.000,-
Rp.   250.000,- (+)
Rp. 2.400.000,-
Rp.   360.000,-
Rp. 2.040.000,-
Rp.     64.000,-

Rp. 1.976.000,-




Rp. 1.750.000,-
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Overhead Kurang Dibebankan
(10.000 – 12.500) @ Rp.20,-
HPP sesungguhnya
Laba Bruto
Biaya Operasional:
Administrasi
Penjualan

Rp. 520.000,-

Rp.  50.000,-



Rp.    524.000,-
Rp. 1.040.000,-
Rp. 2.400.000,-



Rp. 570.000,-
Rp. 1.830.000,-



Rp. 1.564.000,-
Laba Bersih

 Rp.   226.000,-
Laba Bersih

Rp.   266.000,-

Perhitungan harga Pokok Penjualan:


Variabel Costing
Absorption Costing
Persediaan awal
Produksi:

Tersedia Dijual
Persediaan Akhir:


10.000 x Rp. 45,-
10.000 x Rp. 65,-

2.000 x Rp. 45,-
2.000 x Rp. 65,-
0,-
450.000,-

450.000,-
90.000,-

0,-

650.000,-
650.000,-

130.000,-
Harga Pokok Penjualan

360.000,-
520.000,-

HPP variabel costing merupakan HPP sesungguhnya karena tidak terdapat pembebanan lebih (kurang) overhead.

PERHITUNGAN RUGI-LABA MENURUT
VARIABEL COSTING DAN ABSORPTION COSTING
TAHUN 2015
VARIABEL COSTING
ABSORBTION COSTING
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Manufacturing Margin
Biaya Administrasi& Penjualan Variabel
Contribution Margin
Biaya Tetap:
Administrasi
Penjualan
Overhead Pabrik







Rp.    500.000,-
Rp.  1.000.000,-
Rp.   250.000,- (+)
Rp. 3.600.000,-
Rp.   540.000,-
Rp. 3.060.000,-
Rp.     96.000,-

Rp. 2.964.000,-




Rp. 1.750.000,-
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Overhead Kurang Dibebankan
(11.000 – 12.500) @ Rp.20,-
HPP sesungguhnya
Laba Bruto
Biaya Operasional:
Administrasi
Penjualan

Rp. 780.000,-

Rp.  30.000,-



Rp.    536.000,-
Rp. 1.060.000,-
Rp. 3.600.000,-



Rp. 810.000,-
Rp. 2.790.000,-



Rp. 1.596.000,-
Laba Bersih

 Rp. 1.214.000,-
Laba Bersih

Rp.  1.194.000,-



Perhitungan harga Pokok Penjualan:


Variabel Costing
Absorption Costing
Persediaan awal


Produksi:


Tersedia Dijual
Persediaan Akhir:

2.000 x Rp. 45,-
2.000 x Rp. 65,-

11.000 x Rp. 45,-
11.000 x Rp. 65,-


2.000 x Rp. 45,-
2.000 x Rp. 65,-
90.000,-


495.000,-


585.000,-
45.000,-


130.000,-


715.000,-

845.000,-

65.000,-
Harga Pokok Penjualan

540.000,-
780.000,-



PERHITUNGAN RUGI-LABA MENURUT
VARIABEL COSTING DAN ABSORPTION COSTING
TAHUN 2016
VARIABEL COSTING
ABSORBTION COSTING
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Manufacturing Margin
Biaya Administrasi& Penjualan Variabel
Contribution Margin
Biaya Tetap:
Administrasi
Penjualan
Overhead Pabrik







Rp.    500.000,-
Rp. 1.000.000,-
Rp.   250.000,- (+)
Rp. 3.750.000,-
Rp.   562.500,-
Rp. 3.187.500,-
Rp.    100.000,-

Rp. 3.087.500,-




Rp. 1.750.000,-
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Overhead Kurang Dibebankan
(13.000 – 12.500) @ Rp.20,-
HPP sesungguhnya
Laba Bruto
Biaya Operasional:
Administrasi
Penjualan

Rp.812.500,-

Rp.  10.000,-



Rp.    537.500,-
Rp. 1.062.500,-
Rp. 3.750.000,-



Rp. 802.500,-
Rp. 2.947.500,-



Rp. 1.600.000,-
Laba Bersih

 Rp. 1.337.500,-
Laba Bersih

Rp.  1.347.500,-

Perhitungan harga Pokok Penjualan:


Variabel Costing
Absorption Costing
Persediaan awal


Produksi:


Tersedia Dijual
Persediaan Akhir:

1.000 x Rp. 45,-
1.000 x Rp. 65,-

13.000 x Rp. 45,-
13.000 x Rp. 65,-


1.500 x Rp. 45,-
1.500 x Rp. 65,-
45.000,-


585.000,-


630.000,-
67.500,-


65.000,-


845.000,-

910.000,-

97.500,-
Harga Pokok Penjualan

562.500,-
812.500,-

Ø  Perbedaan Laba  Bersih 2016. Laba bersih tahun 2016 menurut variabel costing Rp. 1.337.500,- dan menurut absorption costing Rp. 1.347.500,-. Selisihnya Rp. 10.000,- karena dua hal:
a.          Absorption costing menangguhkan pembebanan biaya overhead tetap Rp. 30.000,- (1.500 x Rp. 20,-) yang melekat pada persediaan akhir sampai tahun 2016. Hal ini menyebabkan laba bersih menurut absorption costing lebih tinggi.
b.         Absorbtion costing membebankan overhead tetap Rp. 20.000,- yang melekat pada akhir tahun 2015 menjadi biaya ditahun 2016. Halm ini mengakibatkan biaya menurut absorption lebih tinggi, dank arena itu, laba bersihnya lebih rendah. Secara total, laba bersih menurut absorption costing lebih tinggi Rp. 10.000,-.
Ø  Dari kasus terakhir ini, kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut. Jika persediaan akhir lebih besar daripada persediaan awal, maka laba menurut absorption costing lebih besar.
Ø  Dari kasus selama tiga tahun pada Perusahaan XYZ diatas, kesimpulan akhir yang dapat ditarik mengenai perbedaan laba bersih menurut dua metode penentuan harga pokok adalah sebagai berikut. Selisih laba bersih disebabkan oleh selisih volume persediaan. Formula yang digunakan untuk menghitung selisih ini adalah:

Selisih Laba Bersih = Selisih Volume Persediaan x Tarif Overhead Tetap Standar Per Unit
 



Ø  Apabila persediaan akhir lebih besar daripada persediaan awal, maka laba menurut absorption costing lebih besar daripada laba menurut variabel costing. Sebaliknya, apabila persediaan akhir lebih kecil daripada persediaan awal maka laba menurut absorption costing lebih kecil daripada laba menurut variabel costing. Sebagai contoh, perhatikan kasus tahun 2016. Persediaan akhir adalah 1.500 unit dan persediaan awal adalah 1.000 unit. Oleh karena tariff overhead tetap standar per unit adalah Rp. 20,-, laba bersih menurut absorption costing Rp. 10.000,- lebih besar daripada laba laba menurut variabel costing. Dengan menggunakan rumus di atas, selisih laba bersihnya dihitung sebagai berikut:

Selisih Laba Bersih       = (1.500 – 1.000) x Rp. 20,-
                                    = Rp. 10.000,-

Ø  Hasil perhitungan diatas dapat dicocokkan dengan laporan rugi-laba sebelumnya.

MANFAAT DAN KETERBATASAN PENENTUAN HARGA POKOK VARIABEL

Manfaat:
1.     Penentuan harga pokok variable memaksa manajemen untuk mengevaluasi pola perilaku biaya untuk masing-masing jenis biaya. Dengan mengetahui pola perilaku biaya tersebut, maka manajemen sadar mengenai sensitivitas biaya terhadap perubahan dalam tingkat aktivitas.
2.     Laporan rugi laba dengan format contribution margin hamper mengikuti pemikiran manajemen tentang prestasi laba karena laba bersih adalah fungsi penjualan, bukan kombinasi tertantu dari produksi dan penjualan.
3.     Informasi yang diperlukan untuk analisis biaya-volume-laba dapat diperoleh secara langsung dari laporan rugi laba , tanpa harus melakukan analisis khusus yang terpisah dari laporan rugi laba.
4.     Pengaruh atau dampak biaya tetap terhadap laba mendapat perhatian lebih karena biaya tetap seluruhnya diperlakukan sebagai biaya periode dan dilaporkan pada satu tempat tertentudi laporan rugi laba, tidak tersebar di seluruh bagian laporan tersebut.
5.     Penentuan harga pokok variable menyajikan dasar untuk menyiapkan anggaran fleksibel yang memisahkan biaya variable dan biaya tetap.
6.     Oleh karena biaya-biaya variable dan tetap dipisahkan, maka penentuan harga pokok variable membantu manajemen dalam pengambilan keputusan, seperti perencanaan laba, pengendalian biaya, penentuan harga jual untuk pesanan khusus dan alokasi sumber daya.

Keterbatasan:
1.     Pemisahan pola perilaku biaya menjadi biaya variable dan tetap sebenarnya sulit dan hasilnya hanya merupakan taksiran.
2.     Penentuan harga pokok variable tidak dapat digunakan untuk pelaporan eksternal atau untuk pelaporan pajak.
3.     Penentuan harga pokok variable dapat member kesan yang menyesatkan bahwa hanya seakan-akan hanya biaya variable yang harus dipertimbangkan dalam penentuan harga jual. Dalam jangka panjang baik biaya variable maupun biaya tetap, harus dipertimbangkan.
4.     Persediaan di neraca yang dinilai dengan penentuan harga pokok variable akan dinyatakan terlalu rendah dari biaya total yang diperlukan untuk memproduksi persediaan dan pelbagai ukuran likuiditas seperti modal kerja dan perbandinganya terhadap kewajiban lancar menjadi jelek.

agar semakin mantap, silahkan baca beberapa artikel yang saya lampirkan dengan meng-klik INI dan INI