Senin, 17 Februari 2014

Mencari titik temu kepentingan ekonomi dan ekologis

Berbagai bencana akhir-akhir ini membri ruang renungan bagi kita. Rentetan benca seperti tanah longsor di singaraja, banjir bandang di manado, banjir berkepanjangan di Jakarta, pati, dan berbagai daerah lainnya mengisyaratkan ada yang salah dalam memberlakukan ibu pertiwi ini.
Kealpaan mengelolaa kawasan hulu dengan bijak telah memberikan ancaman yang sangat serius bagi peradaban, tidak saja masyarakat di hilirnya tetapi masyarakat di hulu itu sendiri. Banyak korban material bahkan nyawa hilang sia-sia karenanya. Apakah banjir yang terjadi di berbagai daerah ini karena jumlah air di muka bumi ini bertambah ? atau malah berkurang, karena bencana kekeringan juga sering melanda ? saya piker tidak. Dari jaman ke jaman, jumlah air tetap sama. Air berproses, dari laut mengembun kemudian menjadi hujan, hujan tertangkap di daerah hulu, diserap tanah kemudian mengalir kehilir dalam bentuk air permukaan dan ari bawah tanah, dan pada akhirnya kembali ke laut. Terus kalau jumlahnya tidak berubah, kenapa akhir-akhir ini sering banjir dan kekeringan ? disinilah peranan manusia dalam merubah bentang alam beserta ekosistemnya membuat proses daur air ini tidak seimbang.
Dalam kasus Bali, hasil penelitian As-syakur A.R. (2011) dapat memberikan gambaran bagaimana kepentingan ekonomi atas nama pembangunan menunjukkan kerakusanya terhadap  alam. Selama kurun waktu  enam tahun (2003 s.d. 2008-red), lahan irigasi di Bali berkurang sebanyak 2.377 ha. Sedangkan areal pemukiman mengalami peningkatan sebesar 2.553 ha, atau 1,18 ha per hari. Artinya, daerah resapan air juga berkurang sebesar itu. Menurut penelitian ini, alih fungsi sebagian besar terjadi di kawasan selatan pulau bali seperti Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. itu data tahun 2008, bagaimana tahun-tahun berikutnya, penulis belum memperoleh hasil penelitiannya. Namun dari pengamatan lapangan, penulis mempunyai keyakinan jumlah alih fungsi minimal sama, bahkan bisa jadi lebih tinggi. Dampaknya, paling kasat mata yang bias dijumpai, hujan sebentar saja berbagai daerah di Denpasar tergenang air. Tetapi permasalahan lahan ini tidak hanya terjadi di daerah perkotaan. Daerah hulu juga mengalami permasalahan serupa. Banyak perkebunan tanaman keras beralih fungsi menjadi pertanian hortikultura, bahkan permukiman atau bangunan lainnya. Hasil penelitian Adnyana W.S. (2006) menunjukkan pertanian hortikultura di kawasan Bedugul memiliki resiko erosi yang paling tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Padahal sesuai arahan struktur dan pemanfaatan ruang Peraturan daerah Rancangan Tata Ruang dan Wilayah Provinsi Bali No 16 tahun 2009, kawasan ini diarahkan untuk perkebunan atau tanaman keras. Alih fungsi ini mendapat jawaban, ketika musim hujan tiba, bencana banjir bandang menimpa beberapa desa di Bali. Musim hujan tahun 2013, bencana banjir bandang menimpa beberapa desa di Singaraja timur. Tahun ini, banjir bandang kembali menelan korban di Kecamatan Sawan-Singaraja.
Menata hulu pulau bali
Bali merupakan pulau kecil dengan ketersediaan sumberdaya alam yang terbatas. Atas keterbatasan ini, pembangunan di Bali hendaklah berorientasi pada pembangunan yang berkelanjutan. Pembangunan hendak mempertimbangkan daya dukung lingkungannya. Laporan Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia menunjukkan, Bali mengalami defisit air sebanyak 1,5 miliar m3/tahun sejak tahun 1995. Kondisi ini terus meningkat hingga 7,5 miliar m3/tahun pada tahun 2000. Sebuah hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 dengan merujuk persamaan permen LH No 17 tahun 2009, Bali telah mengalami defisit air sebesar 685,719,813 m3/tahun. Fakta ini menunjukkan Bali hendak secara bijak mengelola alam sebelum bencana yang lebih besar melanda. Jika tidak, bencana akan terbagi secara merata di Bali. Kawasan Bali selatan kebanjiran, Bali utara banjir bandang, bali timur dan barat kekeringan. Sekarang semua tergantung kepada orang Bali (orang yang tinggal dan mencari rejeki di Bali) lebih arif dalam mengelola dan memanfaatkan alam Bali. Aktualisasi Tri hita karana sebagai harmonisasi manus dengan lingkungan dalam tumpek uduh (tumpek bubuh) tidak hanya seremonial, tetapi benar-benar teriplementasi bagaimana manusia mamapu hidup harmonis dengan lingkungannya. Dengan demikian pembangunan Bali dapat berlanjut, bukan membangun di bali.
Kompromi ekonomi dan ekologi di hulu
Memaknai hulu sebagai daerah tangkapan hujan, kita dapat analogikan dengan menyimpan air di bak penampungan. Bak harus berdinding kokoh, sehingga air tertampung dengan sempurna. Pertanyaanya apakah bak itu bias dimanfaatkan selain untuk menyimpan air ? disinilah letak kompromi bagaimana fungsi utama penyimpanan air itu tetap berfungsi, namun memberikan nilai ekonomi untuk pemanfaatan lainnya. Pemanfaatan lahan untuk kepentingan ekonomi di daerah hulu harus tanpa menegasikan fungsi ekologisnya. Pertanian sebagai aktifitas ekonomi diarahkan pada pengembangan komoditi yang memiliki fungsi setipe dengan hutan. Tanaman kopi merupakan salah satu tanaman perkebunan yang memiliki daya konservasi sampai level yang diinginkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan perkebunan kopi multistrata mampu berfungsi sebagai daerah resapan  yang diharapkan. Hal ini memungkinkan menjadi solusi konflik pemanfaatan lahan antara kepentingan ekologis dan ekonomi.  Najiati dan Danarti (2007) mengungkapkan kopi Arabika (coffea arabica) menghendaki daerah dengan ketinggian 700m dpl s.d. 1.700 m dpl dengan suhu berkisar 160 s.d. 200C. Pada daerah-daerah dengan ketinggian ini tentu  memiliki fungsi ekologis sebagai daerah tangkapan hujan.  Di Bali, perkebunan kopi tumbuh subur di kawasan Kintamani, kawasan hulu Pulau Bali. Kopi Kintamani telah mendapatkan pengakuan penikmat kopi dunia. Namun pengakuan itu tidak cukup ketika harga kopi di tingkat petani tidak pluktuatuf, dan cenderung menurun. Padahal, kalau saja kompromi ekonomi dan ekologi dihulu ini terus dapat berjalan, permasalahan air dapat diatasi. Namun apakah komoditas ini menjadi pilihan yang menguntungkan dibandingkan komoditi lainnya. Ini menjadi permasalahan berikutnya, dan memicu petani beralih ke pertanian yang lebih menguntungkan. Pada musim panen 2010 dan 2011 harga kopi cukup menggembirakan. Para petani kopi di kawasan kintamani mendapat manfaat ekonomi yang memadai. Namun musim panen 2012 dan 2013 harga kopi anjlok hingga setengah harga dari tahun sebelumnya. Ini menjadi pukulan serius terhadap perkebunan kopi di kawasan Kintamani. Petani menganggap berkebun kopi tidak lagi menguntungkan. Banyak petani memilih mengganti perkebunannya dengan pertanian hortikultura. Merujuk dari hasil penelitian Adnyana, pertanian hortikultura memiliki resiko erosi yang paling tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Jadi menjaga hulu tidak saja menjadi alih fungsi lahan menjadi daerah terbagun seperti hotel, perumahan, restoran dan akomodasi lainnya, tetapi alih fungsi lahan di internal pertanian sendiri. Menjaga ekosistem tidak serta merta penerapan aturan zona pemanfaatan, tetapi bagaimana komoditas yang memiliki fungsi ekologi memiliki nilai ekonomi yang sepadan, sehingga perkebunan tersebut tidak beralih menjadi pertanian yang lebih rentan erosi, dan akhirnya berimbas pada kerusakan di hilirnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar