Dalam Penentuan hari-hari
baiknya, masyarakat Bali menggunakan dua jenis perhitungan. Ada yang menggunakan perhitungan
bulan berdasarkan purnama dan tilem ada juga perhitungan dengan wuku. Dalam
satu siklus perhitungan terdapat 30 wuku, satu wuku akan berlangsung selama 7
hari, yaitu Redit, Coma, Anggara, Buda, Wrespati, Sukra, Caniscara (Minggu,
Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu). Banyak hari raya yang diperhitungkan
dengan wuku ini, seperti Tumpek, Buda Kliwon, salah satunya Buda Kliwon
Dunggulan atau yang dikenal hari raya Galungan. Tapi tulisan kali ini tidak akan memahas dalam
mengenai cara orang bi dalam melakukan perhitungan-perhitungan ini.
Hari ini Redite Manis Ukir (25
Agustus 2013)sehari setelah Tumpek Landep. Tumpek landep adalah upacara
masyarakat bali untuk melakukan harmonisasi, penajaman semua perlengkapan yang
berbahan besi. Dulunya benda-benda yang disucikan adalah benda-benda pusaka,
peralatan pertukangan, dan peralatan lainnya. Belakangan, seiring dengan
perkembangan tumpek landep sangat identik dengan pengupacaraan kendaraan bermotor.
Kembali lagi ke redite manis ukir, di
Kampung kelahiran saya (dusun Langkan, Desa Landih, Kecamatan Bangli-Bali),
redite manis ukir diperingati sebagai hari Raya Hyang Bhatara Guru atau biasa
dibilang odalan Bhatara Guru. Perayaan ini dimaknai sebagai penghormati para
leluhur. Hyang Bhatara guru dalam masyarakat Langkan secara simbolisasi
distanakan di Sanggah Kemulan (rong tiga). Karena penghormatan kepada para
tetua yang telah meninggal dan diaben, masyarakat juga membuat pelinggih
pesimpangan dewa hyang, dan juga memiliki hari khusus odalan dewa hyang. Oke kita
kembali ke ritual di redite manis ukir ini. Kenapa menjadi menarik untuk
diceritakan.
Redite manis ukir bagi penulis
memiliki arti yang sangat penting. Hari ini adalah perayaan odalan Hyang Guru,
dan juga pewatekan (petoyan) di Sanggah rumah tua. Rumah tua yang saya
maksudkan adalah rumah dimana ayah saya dan keempat kakaknya dilahirkan. Ayah
merupakan anak bungsu dari lima bersaudara laki-laki. Mereka belima ditempatkan
pada rumah berbeda ketika mulai membina rumah tangga. Biasanya ada fase
inkumbasi selama satu tahun. Selama masa inkubasi, sang anak masih tetap tinggal di bersama di rumah tua, setelah itu akan
dibuatkan rumah di tempat yang berbeda. Semuanya masih dilingkungan desa kami. Hanya
saudara bapak yang paling tua yang tinggal di rumah tua bersama dengan kedua
orang tuanya (Baca: kakek dan nenek penulis). Dari lima bersaudara, terlahir generasi ketiga di keluarga kami. Masing-masing dari lima saudara memiliki dua orang anak, kecuali satu paman yang memiliki satu orang Pura. Kami
Sembilan Sepupu bersaudara, delapan orang laki-laki dan hanya satu orang perempuan. dan.... dDi
hari rahinan sanggah redite manis ukir inilah kami bersembilan memiliki banyak kenangan.
Kami seblian sepupu ini terlahir
dengan rentang umur yang relatif panjang, saudara sepupu tertua kelahiran
pertengahan 1970an, dan adik saya lahir paling bontot terlahir pada akhir tahun
1994. Walau rentang waktu yang panjang, namun banyak kenangan kebersamaan yang
kami alami. Kenangan kami pada masa
kanak-kanak selalu diwarnai perebutan who-wohan (buahbuahan-red). Ada satu
bentuk persebahan khas dalam upacara redite mais ukir. Ada satu sararana
persembahan khusus adalah banten manca raka (sesajen dengan buah-buahan). Suatu persembahan yang berisikan minimal lima
macam buah-buahan dalan satu bokor (tempat menaruh sarana persembahyangan-red).
ini menjadi incaran saya bersama sepupu yang lainnya. Pada masa itu, kami tidak setiap saat dapat menjumpai buah-buahan. selain itu, ya namanya anak-anak, pasti memiliki sara kompetisi yang tinggi dalam segala hal. termasik dalam perebutan surudan. Perebutan terjadi begitu proses persembahyangan bersama selesai.
Ketika jero mangku (pemimpin persembahyangan-red) memberikan aba-aba bahwa sarana persembahyangan bisa di ambil untuk di bawak keluar sanggah/merajan (tempat
suci sejenis pura namun sekalanya lebih kecil yang dibangun di rumah-red).
ketika itu kami berebut mengambil buah-buahan pada sarana upakaran panca raka tadi. Tidak
jarang terjadi kejar-kejaran karena berebut buah-buahan. Dan biasanya ada yang
nagis kalau tidak kebagian, atau buah incarannya tidak didapat. Tapi biasanya
sang nenek punya jurus jitu untuk menenangkan cucu-cucunya. Biasanya dia datang
membawakan buah untuk si cucu yang tidak kebagian.
Selain
berebut buah-buahan, satu lagi ritus kebersamaan enam bulanan yang menjadi
tradisi, yaitu makan “tumpeng belek dengan sate lembat”. Tumpeng belek
merupakan saran upakara yang terbuat dari nasi yang ditumbuk sehingga lembek,
kemudian dibentuk berujung lancip seperti kerucut. Sedangkan sate sama dengan sate-sate
di tempat lain, hanya bahannya yang sedikit berbeda. Sate di kampung kami biasa
memakai daging giling dicampur dengan kelapa yang sudah diparut, lengkap dengan
bumbunya. Kami biasa sebut sate lembat. Sate ini biasa kami tancapkan di
pangkal tumpeng belek tadi, meskipun ada berbagai makanan lain yang disajikan,
sate plus tumpeng selalu menjadi primadona kami. Tradisi ini berlangsung hingga
sekarang, meski tujuh orang dari Sembilan saudara sepupu ini sudah brkeluarga,
kelakuan masa anak-anak tetap tidak dilupakan. Cuma bedanya kalau dulu makan
sate tumpeng habis nagis rebutan buah-buahan, kalau sekarang makan sate tumpeng
sambil cerita kehidupan di masing-masing profesi. dan tambahan memanku anak-anak, dan gelak tawa yang semakin ramai dengan hadirnya Generasi ke empat di Keluarga ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar