Sabtu, 24 Agustus 2013

Redite Manis Ukir



Dalam Penentuan hari-hari baiknya, masyarakat Bali menggunakan dua jenis perhitungan. Ada yang menggunakan perhitungan bulan berdasarkan purnama dan tilem ada juga perhitungan dengan wuku. Dalam satu siklus perhitungan terdapat 30 wuku, satu wuku akan berlangsung selama 7 hari, yaitu Redit, Coma, Anggara, Buda, Wrespati, Sukra, Caniscara (Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu). Banyak hari raya yang diperhitungkan dengan wuku ini, seperti Tumpek, Buda Kliwon, salah satunya Buda Kliwon Dunggulan atau yang dikenal hari raya Galungan.  Tapi tulisan kali ini tidak akan memahas dalam mengenai cara orang bi dalam melakukan perhitungan-perhitungan ini.
Hari ini Redite Manis Ukir (25 Agustus 2013)sehari setelah Tumpek Landep. Tumpek landep adalah upacara masyarakat bali untuk melakukan harmonisasi, penajaman semua perlengkapan yang berbahan besi. Dulunya benda-benda yang disucikan adalah benda-benda pusaka, peralatan pertukangan, dan peralatan lainnya. Belakangan, seiring dengan perkembangan tumpek landep sangat identik dengan pengupacaraan kendaraan bermotor.  Kembali lagi ke redite manis ukir, di Kampung kelahiran saya (dusun Langkan, Desa Landih, Kecamatan Bangli-Bali), redite manis ukir diperingati sebagai hari Raya Hyang Bhatara Guru atau biasa dibilang odalan Bhatara Guru. Perayaan ini dimaknai sebagai penghormati para leluhur. Hyang Bhatara guru dalam masyarakat Langkan secara simbolisasi distanakan di Sanggah Kemulan (rong tiga). Karena penghormatan kepada para tetua yang telah meninggal dan diaben, masyarakat juga membuat pelinggih pesimpangan dewa hyang, dan juga memiliki hari khusus odalan dewa hyang. Oke kita kembali ke ritual di redite manis ukir ini. Kenapa menjadi menarik untuk diceritakan.
Redite manis ukir bagi penulis memiliki arti yang sangat penting. Hari ini adalah perayaan odalan Hyang Guru, dan juga pewatekan (petoyan) di Sanggah rumah tua. Rumah tua yang saya maksudkan adalah rumah dimana ayah saya dan keempat kakaknya dilahirkan. Ayah merupakan anak bungsu dari lima bersaudara laki-laki. Mereka belima ditempatkan pada rumah berbeda ketika mulai membina rumah tangga. Biasanya ada fase inkumbasi selama satu tahun. Selama masa inkubasi, sang anak masih tetap tinggal di bersama di rumah tua, setelah itu akan dibuatkan rumah di tempat yang berbeda. Semuanya masih dilingkungan desa kami. Hanya saudara bapak yang paling tua yang tinggal di rumah tua bersama dengan kedua orang tuanya (Baca: kakek dan nenek penulis). Dari lima bersaudara, terlahir generasi ketiga di keluarga kami. Masing-masing dari lima saudara memiliki dua orang anak, kecuali satu paman yang memiliki satu orang Pura. Kami Sembilan Sepupu bersaudara, delapan orang laki-laki dan hanya satu orang perempuan. dan.... dDi hari rahinan sanggah redite manis ukir inilah kami bersembilan memiliki banyak kenangan.
Kami seblian sepupu ini terlahir dengan rentang umur yang relatif panjang, saudara sepupu tertua kelahiran pertengahan 1970an, dan adik saya lahir paling bontot terlahir pada akhir tahun 1994. Walau rentang waktu yang panjang, namun banyak kenangan kebersamaan yang kami alami. Kenangan kami pada masa kanak-kanak selalu diwarnai perebutan who-wohan (buahbuahan-red). Ada satu bentuk persebahan khas dalam upacara redite mais ukir. Ada satu sararana persembahan khusus adalah banten manca raka (sesajen dengan buah-buahan). Suatu persembahan yang berisikan minimal lima macam buah-buahan dalan satu bokor (tempat menaruh sarana persembahyangan-red). ini menjadi incaran saya bersama sepupu yang lainnya. Pada masa itu, kami tidak setiap saat dapat menjumpai buah-buahan. selain itu, ya namanya anak-anak, pasti memiliki sara kompetisi yang tinggi dalam segala hal. termasik dalam perebutan surudan. Perebutan terjadi begitu proses persembahyangan bersama selesai. Ketika jero mangku (pemimpin persembahyangan-red) memberikan aba-aba bahwa sarana persembahyangan bisa di ambil untuk di bawak keluar sanggah/merajan (tempat suci sejenis pura namun sekalanya lebih kecil yang dibangun di rumah-red). ketika itu kami berebut mengambil buah-buahan pada sarana upakaran panca raka tadi. Tidak jarang terjadi kejar-kejaran karena berebut buah-buahan. Dan biasanya ada yang nagis kalau tidak kebagian, atau buah incarannya tidak didapat. Tapi biasanya sang nenek punya jurus jitu untuk menenangkan cucu-cucunya. Biasanya dia datang membawakan buah untuk si cucu yang tidak kebagian. 
Selain berebut buah-buahan, satu lagi ritus kebersamaan enam bulanan yang menjadi tradisi, yaitu makan “tumpeng belek dengan sate lembat”. Tumpeng belek merupakan saran upakara yang terbuat dari nasi yang ditumbuk sehingga lembek, kemudian dibentuk berujung lancip seperti kerucut. Sedangkan sate sama dengan sate-sate di tempat lain, hanya bahannya yang sedikit berbeda. Sate di kampung kami biasa memakai daging giling dicampur dengan kelapa yang sudah diparut, lengkap dengan bumbunya. Kami biasa sebut sate lembat. Sate ini biasa kami tancapkan di pangkal tumpeng belek tadi, meskipun ada berbagai makanan lain yang disajikan, sate plus tumpeng selalu menjadi primadona kami. Tradisi ini berlangsung hingga sekarang, meski tujuh orang dari Sembilan saudara sepupu ini sudah brkeluarga, kelakuan masa anak-anak tetap tidak dilupakan. Cuma bedanya kalau dulu makan sate tumpeng habis nagis rebutan buah-buahan, kalau sekarang makan sate tumpeng sambil cerita kehidupan di masing-masing profesi. dan tambahan memanku anak-anak, dan gelak tawa yang semakin ramai dengan hadirnya Generasi ke empat di Keluarga ini.  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar