Indonesia,
berjuang melawan penindasan lebih dari 350 tahun. perjuangan yang sangat
melelahkan memang, namun pucuk di cinta ulam pun tiba, indonesia berhasil
mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 45. banyak orang meyakini ini merupakan
JEMBATAN EMAS perjuangan Indonnesia menjadi bangsa yang yang besar.
Membangun
Bangsa yang dengan beribu-ribu pulau serta berpuluh-puluh etnis, suku, dan
kebudayaan tidaklah mudah. Sejak me-merdeka-kan diri, kepentingan-kepentingan
selalu menghiasi kebijakan nasional. “Kekuatan” mayoritas seolah menjadi
“adidaya” dalam segala situasi, pondasi yang begitu “manis” yang tercermin
dalam sila-sila Pacasila tidak dilaksanakan secara seutuhnya. Semangat
kebersamaan untuk melepaskan belenggu penjajahan berubah menjadi kepentingan-keentingan
ke-suku-an; golongan; kelompok; bahkan kepentingan agama juga tidak luput memberikan
andil dalam pengelompokkan masyarakat. Tidak heran jika di beberapa daerah akhirnya
muncul gerakan-gerakan sparatisme yang menuntut untuk memerdekakan diri. Al ini
biasanya dilakuka oleh daerah/kelompok yang merasa tertindas, atau
terpinggirkan bahkan hanya menjadi objek
penderita semata.
Belakangan,
kekacauan dalam sistem demokrasi yang sedang dibangun kian mencuat. Banyak yang
memperdebatkan permasalahan teknis, serta tumpang tindihnya aturan yang
mengatur sistem keterwakilan rakyat di parlemen. Sistem demokrasi pada saat ini
memberikan peluang bagi siapa saja untuk duduk di parlemen menjadi wakil
rakyat, baik di tingkat DPRD tk II, DPRD tk I, maupun DPR RI. Bak membuka perusahaan
baru, jumlah pelamar yang “mendaftar” bejubel, suasananya mirip dengan
penjaringan CPNS yang dilakukan baru-baru ini, sama-sama rebut-ribut uang
sogokan. Yang membedakan mungkin kalau ter CPNS tidak ada perang baliho di
pinggir jalan, perempatan, hingga “jurang”.
Untuk “lowongan” di parlemen tingkat II misalnya, Propinsi Bali dengan 9
Kabupataten/Kota, jumlah calon legislatif yang mendaftar mencapai 5.065 orang.
Padahal jumlah kursi yang tersedia hanya 399 kursi (7,8%), sehingga 90,22% diantara
“pelamar” yang poto-nya berjejer di pinggir jalan dipastikan akan gagal.
Secara
kasat mata hal ini nampak baik, dengan banyaknya calon pelamar maka akan
berkorelasi positif dengan kualitas yang dihasilkan. Semakin banyak calon, maka kesempatan untuk
memilih yang terbaik lebih dimungkinkan, dari pada tidak ada pilihan (ya/ga ?).
Diawal pencalegan, banyak riuh-riuh tentang jual beli nomor jadi, sogok menyogo
oleh kader kepada pimpinan partai seolah menjadi rahasia umum masyarakat. Terutama
terjadi di partai-partai besar. jika hai itu benar, maka partai-parta besar
tersebut secara tidak langsung telah menggadaikan Bangsa ini kepada pemilik
modal, karena hanya pemodal besarlah yang mampu membeli nomor
"cantik" itu. Belakangan dengan berlakukanya Undang Pemilu Nomor 10 Tahun 2008
Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
penetapan pemenang berubah dengan memungkinkan CALEG nomor "sepatu"
duduk di parlemen. tentu kabar ini manjadi angin baru dalam penegakan demokrasi
di Indonesia. banyak kalangan menyambut dengan suka cita, tapi banyak juga yang
menyayangkannya.
Carut-marutnya
sistem perdemokrasikan yang diterapkan di Indonesia, serta adobsi sistem luar
negeri yang belum tentu semuanya sesuai dengan kebudayaan Bangsa Indonesia,
ditambah lagi dengan tidak siapnya Partai-partai
yang ada dalam melakukan pendidikan politik terhadap masyarakat serta kader-kadernya,
dan kegagalan partai dalam menyiapkan kader-kader bangsa untuk berpikir jernih
membangun bangsanya. partai tidak mempunya kemampuan dalam menentukan siapa
yang "ditugaskan" membangun dan memikirkan bangsa.
Tulisan
ini dperuntukan bagi kawan-kawan seperjuangan yang ingin melihat bangsa ini
menjadi bangsa yang bangga terhadap bangsanya dan percaya pada kekuatan yang
terkandung dalam nilai-nilai Pancasila, sebagai intisari Indonesia.
Mohon
Kritikan dan Sarannya
nampa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar