Seekor ayam jago pagi-pagi
mekruyuk (berkokok-red) dengan lantangnya, memberikan isyarat sang pajar keluar
dari peraduannya. Sinar kuning kemerahan perlahan memecah gelapnya malam. Sang
fajar masih bersembunyi di balik puncak gunung agung yang nampak tandus. Pagi itu,
ayam jago kesayangan Nang Jago “mekruyuk” lantang “kukuryuuuuuuuu…”. Nang jago terusik dari tdurnya yang pulas. Sudah
seperti alaram ayam kesayangannya ini untuk membangunkannya setiap pagi. Nang
jago seorang petani ulet yang setiap hari berkutat di ‘tegalan’ (lading-red) guna menafkahi istrinya men jago dan kedua
anaknya jago dan rana. Nasib malang menimpa anak pertamanya. Kedua kakinya
(Jago-red) lumpuh sejak umur 2 tahun. Waktu itu jago dalam keadaan baik-baik
saja, namun suratan takdir menyuratkan lain. Saat bermain di halaman, kakinya menginjak
anggapan sejenis pisau untuk panen
padi menyebabkan panas tinggi yang berujung kelumpuahan. Rutinitas keluarga ini
hanya mampu memenuhi kebutuhah sehari-hari. Namum, meski hidup dalam kondisi
paspasan nang jago dan anak anaknya cukup bahagia. mencari rumput untuk makanan
sapi, bercocok tanam, dan mencari air bersih sudah menjadi kesehariannya.
Bangun tidur, nang jago segera
disuguhkan kopi oleh istrinya, sementara kedua anaknya masih tertidur pulas.
Takut kepanasan mencari rumput, ia ( nang jago-red) tergesa-gesa meminum kopi
dalam keadaan panas. Dengan sigap mengambil sabit di kolom tempat tidur dan
menyambar sepasang keranjang di halaman rumah. Berjalan selama 15 menit, dia
sampai tempat tujuan mencari rumput dan semak. Nang Jago tidak mendapat kesulitan
mencari rumput meski harus merayap di tebing tepi pangkung (sungai tanpa air). Tidak dibutuhkan waktu lama untuk
mengisi kedua keranjangnya dan bergegas pulang.
Sore harinya, sekitar jam 3 sore, bersama istrinya nang jago dengan giat membersihkan gulma, sebagian dikumpulkan untuk makanan sapi. Nang jago berhenti sejenak, memiringkan kepalanya sembari berkonsentrai. Istrinya heran, trus bertanya ada apa pak kok ampai miring begitu ?. mendep-mendep! (sssstttt…. Diam!), di kejauhan terdengan samar-samar pengumumam dengan pengeras suara, jarang-jarang ada seperti ini. Dalam benaknya dia berpikir “wah pasti nanti malam ada pertunjukan akrobat di jaba pura”. Benar memang begitu Nang Jago pulang bersama istrinya, sekumpulan warga sedang memperbincangkan aka ada pertunjukan akrobat d jaba pura.
Menjelang sanja kala (petang)
nang jago sudah rapi, siap-siap mau ke tempat akrobat. Nang jago hanya mengajak
rana (anak keduanya), sementara isterinya menemani anak pertamanya di rumah.
Selama perjalanan rana di bopong d pinggulnya, maklum dia beru berusia 3 tahun.
Mengusir kesepiannya, selama perjalanan
seperti layaknya anak kecil rana menanyakan semua hal yang dijumpainya.
Memasuki daerah turunan, jalan setapak itu dirimbuni pohon enau. Terdengan
hanya suara langkah kaki, nang jago harus berkonsentrasi karena jalan agak
licin. Pikiran nang jago mulai membayangkan cerita orang-orang katanya daerah
ini banyak orang ketemu ndeihan
semacam cahaya yang dipancarkan oleh makhluk jadi-jadian. Langkahnya dipercepat
agar segera melewati daerah yang menyeramkan ini dengan perasaan sedikit waswas.
Rana belum mengerti ketakutan yang dirasakan bapaknya. Rana tetap ceclingukan kesana
kemari mengamati segala hal yang dia lihat. Saat menoleh ke atas, dia melihat
sesuatu yang pernah diceritakan bapanya. Rana menepuk bahu bapaknya, sembari
berkata “pak di duwur ada celuluk”
(pak di atas ada celuluk, semacam
makhluk menyeramkan). Mendengan kata-kata anaknya, bulu tipis di sekujur
tubuhya berdiri. Nang jago mempercepat langkahnya, ingin berlari namun badannya
terasa berat. tersedar
Nang Jago dan Rana akhirnya sampai juga di arena pertujukkan acrobat. Rasa
takut saat mendengan cerita Rana melihat celuluk
terobati. Para pemain akrobat terus menyungguhkan berbagai pertunjukkan. Pertunjukkan
sesekali berhenti diselingi dengan menjual obat-obatan dari obat sakit gigi,
minyak rambut, pegel linu, sampai obat keharmonisan rumah tangga dijajagan. Nang
jago larut dalam keceriaan pementasan acrobat, sesekali dia merogoh kantongnya
untuk membeli obat yang ditawarkan oleh rombongan akrobatik itu. Dia baru
tersadar kalau penonton yang pulang searah dengannya tidak lagi dijumpai di
arena pertunjukkan. Perasaannya kembali gundah, membayangkan akan melewati
tempat yang menyeramkan tadi. Nang Jago bergegas pulang, agar tidak sampai
larut malam di jalan. Seranpanjang perjalanan pikirannya telah melayang
membayangkan wajah seram celuluk. Keringat
megucur diseluruh tubuh, bercampur antara keringat karena berjalan dan
membopong rana dengan keringat dingin karena ketakutan.
Akhirnya, hampir tengah malam
nang jago sampai di rumah. Saking lelahnya, Nang Jago tidak sempat ganti baju.
Dia langsung tertidur, sedangkan rana sudah tertidur mulai di jalan tadi.
Keesokan harinya, nang jago merasa penasaran dengan rupa celuluk yang dilihat
anaknya semalam. Duduk di pinggir tunggku untuk menghangatkan badan ditemani
segelas kopi buatan instrinya, ia bertanya kepada rana yang baru terbangun dari
tidurnya, “kenken goban celuluk ane ibisanja nto ning ?”
(bagaimana rupa mahluk menyeramkan tadi malam nak-red), sambil mengusap-usap
matanya Rana menjawab “megantung nto apa
pak, misi buah bunter-bunter” (tergantung, berisi buah yang bentuknya
bulat-bulat), nang jago bingung, dalam pikirannya celuluk apa kok berisi buah.
Dia bertanya lagi, “celuluk apa misi buah
?” rana berlari ke belakang rumahnya menunjuk beluluk (buah pohon enao-red) yang ada di belakang rumahnya. Ternyata
mahluk menyeramkan semalam hanya buah beluluk, yang kalau diolah enak di campur
dalam es campur atau cendol.
Tulisan ini sempat dimuat di
majalah ginem, beberapa tahun silam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar