Jumat, 23 Agustus 2013

Celuluk Es Cendol


Seekor ayam jago pagi-pagi mekruyuk (berkokok-red) dengan lantangnya, memberikan isyarat sang pajar keluar dari peraduannya. Sinar kuning kemerahan perlahan memecah gelapnya malam. Sang fajar masih bersembunyi di balik puncak gunung agung yang nampak tandus. Pagi itu, ayam jago kesayangan Nang Jago “mekruyuk” lantang “kukuryuuuuuuuu…”. Nang jago terusik dari tdurnya yang pulas. Sudah seperti alaram ayam kesayangannya ini untuk membangunkannya setiap pagi. Nang jago seorang petani ulet yang setiap hari berkutat di ‘tegalan’ (lading-red) guna menafkahi istrinya men jago dan kedua anaknya jago dan rana. Nasib malang menimpa anak pertamanya. Kedua kakinya (Jago-red) lumpuh sejak umur 2 tahun. Waktu itu jago dalam keadaan baik-baik saja, namun suratan takdir menyuratkan lain. Saat bermain di halaman, kakinya menginjak anggapan sejenis pisau untuk panen padi menyebabkan panas tinggi yang berujung kelumpuahan. Rutinitas keluarga ini hanya mampu memenuhi kebutuhah sehari-hari. Namum, meski hidup dalam kondisi paspasan nang jago dan anak anaknya cukup bahagia. mencari rumput untuk makanan sapi, bercocok tanam, dan mencari air bersih sudah menjadi kesehariannya.
Bangun tidur, nang jago segera disuguhkan kopi oleh istrinya, sementara kedua anaknya masih tertidur pulas. Takut kepanasan mencari rumput, ia ( nang jago-red) tergesa-gesa meminum kopi dalam keadaan panas. Dengan sigap mengambil sabit di kolom tempat tidur dan menyambar sepasang keranjang di halaman rumah. Berjalan selama 15 menit, dia sampai tempat tujuan mencari rumput dan semak. Nang Jago tidak mendapat kesulitan mencari rumput meski harus merayap di tebing tepi pangkung (sungai tanpa air). Tidak dibutuhkan waktu lama untuk mengisi kedua keranjangnya dan bergegas pulang.

Sore harinya, sekitar jam 3 sore, bersama istrinya nang jago dengan giat membersihkan gulma, sebagian dikumpulkan untuk makanan sapi. Nang jago berhenti sejenak, memiringkan kepalanya sembari berkonsentrai. Istrinya heran, trus bertanya ada apa pak kok ampai miring begitu ?. mendep-mendep! (sssstttt…. Diam!), di kejauhan terdengan samar-samar pengumumam  dengan pengeras suara, jarang-jarang ada seperti ini. Dalam benaknya dia berpikir “wah pasti nanti malam ada pertunjukan akrobat di jaba pura”. Benar memang begitu Nang Jago pulang bersama istrinya, sekumpulan warga sedang memperbincangkan aka ada pertunjukan akrobat d jaba pura.
Menjelang sanja kala (petang) nang jago sudah rapi, siap-siap mau ke tempat akrobat. Nang jago hanya mengajak rana (anak keduanya), sementara isterinya menemani anak pertamanya di rumah. Selama perjalanan rana di bopong d pinggulnya, maklum dia beru berusia 3 tahun. Mengusir kesepiannya,  selama perjalanan seperti layaknya anak kecil rana menanyakan semua hal yang dijumpainya. Memasuki daerah turunan, jalan setapak itu dirimbuni pohon enau. Terdengan hanya suara langkah kaki, nang jago harus berkonsentrasi karena jalan agak licin. Pikiran nang jago mulai membayangkan cerita orang-orang katanya daerah ini banyak orang ketemu ndeihan semacam cahaya yang dipancarkan oleh makhluk jadi-jadian. Langkahnya dipercepat agar segera melewati daerah yang menyeramkan ini dengan perasaan sedikit waswas. Rana belum mengerti ketakutan yang dirasakan bapaknya. Rana tetap ceclingukan kesana kemari mengamati segala hal yang dia lihat. Saat menoleh ke atas, dia melihat sesuatu yang pernah diceritakan bapanya. Rana menepuk bahu bapaknya, sembari berkata “pak di duwur ada celuluk” (pak di atas ada celuluk, semacam makhluk menyeramkan). Mendengan kata-kata anaknya, bulu tipis di sekujur tubuhya berdiri. Nang jago mempercepat langkahnya, ingin berlari namun badannya terasa berat. tersedar
Nang Jago dan Rana akhirnya  sampai juga di arena pertujukkan acrobat. Rasa takut saat mendengan cerita Rana melihat celuluk terobati. Para pemain akrobat terus menyungguhkan berbagai pertunjukkan. Pertunjukkan sesekali berhenti diselingi dengan menjual obat-obatan dari obat sakit gigi, minyak rambut, pegel linu, sampai obat keharmonisan rumah tangga dijajagan. Nang jago larut dalam keceriaan pementasan acrobat, sesekali dia merogoh kantongnya untuk membeli obat yang ditawarkan oleh rombongan akrobatik itu. Dia baru tersadar kalau penonton yang pulang searah dengannya tidak lagi dijumpai di arena pertunjukkan. Perasaannya kembali gundah, membayangkan akan melewati tempat yang menyeramkan tadi. Nang Jago bergegas pulang, agar tidak sampai larut malam di jalan. Seranpanjang perjalanan pikirannya telah melayang membayangkan wajah seram celuluk. Keringat megucur diseluruh tubuh, bercampur antara keringat karena berjalan dan membopong rana dengan keringat dingin karena ketakutan.
Akhirnya, hampir tengah malam nang jago sampai di rumah. Saking lelahnya, Nang Jago tidak sempat ganti baju. Dia langsung tertidur, sedangkan rana sudah tertidur mulai di jalan tadi. Keesokan harinya, nang jago merasa penasaran dengan rupa celuluk yang dilihat anaknya semalam. Duduk di pinggir tunggku untuk menghangatkan badan ditemani segelas kopi buatan instrinya, ia bertanya kepada rana yang baru terbangun dari tidurnya, “kenken goban celuluk ane ibisanja nto ning ?” (bagaimana rupa mahluk menyeramkan tadi malam nak-red), sambil mengusap-usap matanya Rana menjawab “megantung nto apa pak, misi buah bunter-bunter” (tergantung, berisi buah yang bentuknya bulat-bulat), nang jago bingung, dalam pikirannya celuluk apa kok berisi buah. Dia bertanya lagi, “celuluk apa misi buah ?” rana berlari ke belakang rumahnya menunjuk beluluk (buah pohon enao-red) yang ada di belakang rumahnya. Ternyata mahluk menyeramkan semalam hanya buah beluluk, yang kalau diolah enak di campur dalam es campur atau cendol.
Tulisan ini sempat dimuat di majalah ginem, beberapa tahun silam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar