Maksud baik para Anggota DPR untuk meniadakan
porno aksi dan pornografi (pada tahun 2006 Rancangan Undang-Undang Porno Aksi dan
Pornografi) yang “dimodifikasi” menjadi Undang-Undang Anti Pornografi (RUAP) kemudian
disakan pada 30 Oktober 2008 menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat.
Perancangan UUAP yang dimotori fraksi PKS ini sedikit
banyak telah menyentuk wilayah-wilayah priba. Bahkan pada definisi pornografi
disebutkan “Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam
bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi
lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai
kesusilaan dalam masyarakat."
Banyak hal yang mengganjal dalam devinisi ini.
Batasan-batasan yang digunakan sangat abstrak dan berpeluang menjadi “pasal
karet”. Orang “Ngobrol di pinggir jalan dapat dikenai pidan. Dalam devinisi ini
juga menggunkan ukuran “dapat membangkitkan hasrat seksual" nah hasrat
seksual siapa yang akan dijadikan takaran ? apakah hasrat Hakim, Anggota DPR,
atau siapa?. hal ini sangat-sangat menuai kebingungan di mayarakat.
Ratusan artshop yang menjual lukisan wanita Bali yang
tanpa menggunakan penutup Badan (maaf, payudara kelihatan). Apakah ratusan
bahkan ribuan lukisan-lukiran itu harus diberangus karena menurut undang-undang
ini dapat membangkitkan hasrat seksual ?, bagaimana degan pengusaha artshop
berikut kariawannya yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan orang. Bukan itu saja,
para pengerajin di ubud dan sekitarnya akan mengalami penurunan produksi dan
pasar, karena banyak cindramata yang dijual berbentuk hal-hal berbai alat
seksual (seperti kelamin laki-laki). sehingga UUAP akan menimbulkan keterpurukan Bali secara
Ekonomi.
Meskikah sebegitu besarnya “perhatian” Negara kepada
rakyatnya? Haruskah “perhatian” besar ini mematikan perekonomian kaum marhaen
yang menggantungkan hidupnya di sektor kerajinan? Satu lagi yang terpenting, Agggota
DPR kita yang merancang UUAP banyak terbelit sekandal korupsi. Korusi sudah
susah dihitung, sampai-sampai di salah satu kabupaten di Indonesia semua
anggota DPRD satu periode meringkuk di dalam penjara. Skandal seks dengan
Sekretaris, WIL, ada juga Korupsi untuk memesan wanita, padahal sudah
punya istri cantik, artis pula!!! Apa iya, harus mengurus moral orang banyak ?
yang terhebat, petinggi parta yang sangat getol memperjuangkan pengesahan
undang-undang ini juga tersangkut korupsi, sekaligus terungkap ada wanita dalam
sekandal itu.
Keluarnya UUAP ini adalah salah satu bentuk dari
kegagalan Negara dalam mensejahterakan masyarakatnya. Penyanyi legendaries Iwal
Fals menulis sebuah lagu kriti terhadap anggota DPR yang terhormat. Berikut
Petikan lirik lagunya “Masalah moral, Masalah ahlat, Biar kami urus sendiri,
urus saja moralmu, urus saja ahlatmu, pemerintahan yang sehat, yang kami mau” Pada
pasal 2 disebutkan "Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha
Esa" padahal, dalam pembukaan rancangan undang-undang ini sudah
jelah-jelas dituangkan Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan
Pacasila", apakah permasalahan kehidupan sosial masyarakat hanya terkait
dengan sila ketuahanan saja? bagaimana dengan sila kemanusiaan yang adil dan
beradab, persatuan indonesia, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
malah dikebiri dalam RUUAP ini.
pada Pasal 3 poin C "memberikan kepastian hukum dan
perlindungan bagi warga negara, terutama bagi anak dan perempuan dari
pornografi" padahal, RUUAP ini justru membelenggu wanita bukan
melindunginya.
pasal 7 disebutkan setiap orang dilarang memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi,
bahkan hanya untuk konsumsi pribadi tidak boleh, padahal banyak orang
membutuhkannya sebagai terapi dalah kesehatan seksual, dan/atau keharmonisan
suami isteri.
Ditengah keterhimpitan ekonomi, orang rela melakukan apa saja
untuk dapat bertahan hidup. Sebut saja pembagian zakat keluarga H. Syaichon di
pasuruan beberapa tahun lalu, ribuan
orang mempertaruhkan nyawanya berdesak-desakan hanya untuk memperoleh uang Rp. 30.000,-.
Alhasil 21 oran akhirnya meregang nyawa. Setiap pengrebekan komplek pelacuran,
para WTS selalu menjalani propesiya karena alasan kebutuhan ekonomi, apakah
negara sudah mampu mensejahterakan masyarakatnya ?, Urusan perut saja belum tuntas
bagaimana bisa berbicara moral.
Tulisan lama yang terselip di laci-laci. Sekalian sebagai
bahan pengingat kalau Negara kita sudah terlampau jauh tercerabut dari akarnya.
Terlalu banyak perundangan yang dibuat penguasa negara ini yang menegasikan Undang-Undang
Dasar 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar