Kamis, 22 Agustus 2013

Biar Tidak Lupa

Maksud baik para Anggota DPR untuk meniadakan porno aksi dan pornografi (pada tahun 2006 Rancangan Undang-Undang Porno Aksi dan Pornografi) yang “dimodifikasi” menjadi Undang-Undang Anti Pornografi (RUAP) kemudian disakan pada 30 Oktober 2008 menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat.
Perancangan UUAP yang dimotori fraksi PKS ini sedikit banyak telah menyentuk wilayah-wilayah priba. Bahkan pada definisi pornografi disebutkan “Pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat."
Banyak hal yang mengganjal dalam devinisi ini. Batasan-batasan yang digunakan sangat abstrak dan berpeluang menjadi “pasal karet”. Orang “Ngobrol di pinggir jalan dapat dikenai pidan. Dalam devinisi ini juga menggunkan ukuran “dapat membangkitkan hasrat seksual" nah hasrat seksual siapa yang akan dijadikan takaran ? apakah hasrat Hakim, Anggota DPR, atau siapa?. hal ini sangat-sangat menuai kebingungan di mayarakat.

Berbicara dalam Tataran Regional Bali, Masyarakat Bali masih banyan memanfaatkan pemandian umum di telabah (kali-red) di pinggir jalan. bagaimana nasib masyarakat yang menggunakan permandian umum itu ?, apakah tidak mandi karena takut melanggar UUAP. Atau minimal tidak mandi sampai mendapat pinjama uang dari pihak lain (BANK/LPD/Kerabat) untuk membangun kamar mandi di rumah, serta menunggu mendapat sambungan PDAM, sedangkan PDAM sendiri sudah kebingungan mencari sumber mata air untuk melayani masyarakat.
Ratusan artshop yang menjual lukisan wanita Bali yang tanpa menggunakan penutup Badan (maaf, payudara kelihatan). Apakah ratusan bahkan ribuan lukisan-lukiran itu harus diberangus karena menurut undang-undang ini dapat membangkitkan hasrat seksual ?, bagaimana degan pengusaha artshop berikut kariawannya yang jumlahnya ratusan bahkan ribuan orang. Bukan itu saja, para pengerajin di ubud dan sekitarnya akan mengalami penurunan produksi dan pasar, karena banyak cindramata yang dijual berbentuk hal-hal berbai alat seksual (seperti kelamin laki-laki). sehingga UUAP  akan menimbulkan keterpurukan Bali secara Ekonomi.

Meskikah sebegitu besarnya “perhatian” Negara kepada rakyatnya? Haruskah “perhatian” besar ini mematikan perekonomian kaum marhaen yang menggantungkan hidupnya di sektor kerajinan? Satu lagi yang terpenting, Agggota DPR kita yang merancang UUAP banyak terbelit sekandal korupsi. Korusi sudah susah dihitung, sampai-sampai di salah satu kabupaten di Indonesia semua anggota DPRD satu periode meringkuk di dalam penjara. Skandal seks dengan Sekretaris,  WIL, ada juga  Korupsi untuk memesan wanita, padahal sudah punya istri cantik, artis pula!!! Apa iya, harus mengurus moral orang banyak ? yang terhebat, petinggi parta yang sangat getol memperjuangkan pengesahan undang-undang ini juga tersangkut korupsi, sekaligus terungkap ada wanita dalam sekandal itu.
Keluarnya UUAP ini adalah salah satu bentuk dari kegagalan Negara dalam mensejahterakan masyarakatnya. Penyanyi legendaries Iwal Fals menulis sebuah lagu kriti terhadap anggota DPR yang terhormat. Berikut Petikan lirik lagunya “Masalah moral, Masalah ahlat, Biar kami urus sendiri, urus saja moralmu, urus saja ahlatmu, pemerintahan yang sehat, yang kami mau” Pada pasal 2 disebutkan "Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa" padahal, dalam pembukaan rancangan undang-undang ini sudah jelah-jelas dituangkan Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan Pacasila", apakah permasalahan kehidupan sosial masyarakat hanya terkait dengan sila ketuahanan saja? bagaimana dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan indonesia, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia malah dikebiri dalam RUUAP ini.
pada Pasal 3 poin C "memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara, terutama bagi anak dan perempuan dari pornografi" padahal, RUUAP ini justru membelenggu wanita bukan melindunginya.
pasal 7 disebutkan setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi, bahkan hanya untuk konsumsi pribadi tidak boleh, padahal banyak orang membutuhkannya sebagai terapi dalah kesehatan seksual, dan/atau keharmonisan suami isteri.
Ditengah keterhimpitan ekonomi, orang rela melakukan apa saja untuk dapat bertahan hidup. Sebut saja pembagian zakat keluarga H. Syaichon di pasuruan beberapa tahun lalu,  ribuan orang mempertaruhkan nyawanya berdesak-desakan hanya untuk memperoleh uang Rp. 30.000,-. Alhasil 21 oran akhirnya meregang nyawa. Setiap pengrebekan komplek pelacuran, para WTS selalu menjalani propesiya karena alasan kebutuhan ekonomi, apakah negara sudah mampu mensejahterakan masyarakatnya ?, Urusan perut saja belum tuntas bagaimana bisa berbicara moral.
Tulisan lama yang terselip di laci-laci. Sekalian sebagai bahan pengingat kalau Negara kita sudah terlampau jauh tercerabut dari akarnya. Terlalu banyak perundangan yang dibuat penguasa negara ini yang menegasikan Undang-Undang Dasar 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar