Sabtu, 04 Oktober 2014

Menapak Daratan Tertinggi di Timor Barat [2.417 mdpl]

Mengibarkan MErah Putih di Puncak Mutis
Postingan ini merupakan kompilasi dari tiga tulisan sebelumnya. kembali disajikan agar temen-temen dapat menikmatinya secara utuh. ekspedisi ke puncak mutis pertengan oktober 2014 lalu. 

Laki-laki paruh baya itu mondar-mandir di lobby bagian belakang, Gedung Rektorat Universitas Nusa Cendana Fenfui. Mengenakan celana pendek motif kotak-kotak, laki-laki ini nampak kontras dengan para pegawai yang lalu lalang  di gedung perkantoran itu (20/8) pagi. Bapak itu terlihat sesekali membuka bagasi belakang mobil double cabin yang mengantarnya.  Penulis segera menghampirinya sambil bengajukan tangan untuk bersalaman. Menanyakan kabar, dan berbincang ringan. Aktivitas perkantoran berjalan seperti biasanya. Laki-laki itu adalah Zigma Naraheda. Teman-teman dekatnya biasa memanggilnya om Im. Om Im merupakan salah satu pendukung utama ekspedisi Gunung Mutis serangkaian perayaan Dies Natalis Universitas Nusa Cendana yang ke 52. Om Im bersama team lainnya akan berangkan ke mutis pagi itu. Tidak lama kami berbincang-bincang, beberapa sahabat yang akan ikut pendakian bergabung lengkap dengan ransel dipunggung. Obrolan hangat terjadi sambil menunggu anggota lainnya yang belum bergabung. Sesuai kesepaktan, Kami akan berangkat jam 10 pagi. Mendekati jam 10, seorang petugas keamanan kampus menghampiri seraya meminta kami bergeser ke lobby bagian depan. Maaf bapak, karena akan dilepas oleh Bapak PR3 (Pembantu Rektor Bidang Kemahasiswaan), mohon bergeser ke loby depan sergah petugas itu memecah obrolan kami. Kami bergegas ke loby depan, dan acara pelepasan dilakukan. Rombongan berjumlah 21 orang yang berasal dari mahasiswa, alumni, dosen dan pegawai Undana.
Selesai prosesi pelepasan, om Im mengarahkan anggota rombongan naik ke empat mobil yang akan mengantarkan kami ke basecamp pendakian. Kami akan menginap di padang lolfoi, Desa Fatumnasi. Perjalanan ke Fatumnasi diperkirakan dapat ditempuh sekitar empat jam. Perjalanan dari Kampus Undana Fenfui menuju Soe kami tempuh sekitar 2 jam. Di Soe, kami bertemu dengan Bapa Anin salah satu tokoh Desa Fatumnasi. Desa Fatumnasi merupakan desa yang terletak kaki Gunung Mutis, pintu masuk ke kawasan hutan lindung gunung mutis. Kebetulan “Bapa Anin” sedang mengikuti kegiatan di Soe. Tidak lama kami berbincang, kami bergegas melanjutkan perjalanan. Satu mobil berangkat mengambil tenda, satu mobil mencari logistik untuk makan siang. Sedangkan dua mobil lainnya menunggu di padang kilometer 12. Padang KM 12 merupakan gundukan padang yang berada dipinggir jalan seperti namanya berada pada km 12 menuju kapan. Menyantap makan siang sambil menikmati gugusan gunung dan perbukitan nan indah menjadi menu pertama perjalanan kami. Tidak lupa para sahabat mrngabadikan setiap moment dan pemandangan.
Mahakarya Landscape yang Maha Kuasa
Perjalanan kami lanjutkan menuju Fatumnasi. Jarak dari tempat pesinggahan ini ke Desa fatumnasi tidak terlalu jauh. Tidak lebih dari 30 KM. Namun jalan rusak, dan terjal menyebabkan waktu tempuh menuju desa fatumnasi harus ditempuh sekitar tiga jam. Kawan kami yang sudah terbiasa ke Desa Fatumnasi menceritakan setiap harinya ada 5 kendaraan bak terbuka dengan rute Fatumnasi-Kupang, Kupang Fatumnasi untuk membawa sayur dan hasil bumi lainnya untuk dipasarkan di Kupang. Kalangan backpacker dapat memanfaatkan jasanya, dengan tarif relatif murah yaitu Rp.25.000,- sekali jalan. Namun para sahabat harus rela membagi tempat duduknya dengan berbagai sayur-sayuran, bahkan ternak.Selain Moda ini, ada juga bus dari Kapan menuju Kupang. Tentu mobil-mobil ini tidak 4WD. Tetapi pengemudinya sudah terbiasa dengan medan terjal dan rusak. Tapi kalau belum familiar, saran saya menggunakan kendaraan sejenis jeep atau kendaraan yang familiar dengan medan terjal dan berbatu. Lebih baik lagi menggunakan kendaraan four-wheel drive (4WD). Menuju Desa Fatumnasi, kendaraan bergerak lambat. Bahkan di beberapa titik driver harus mengaktifkan four-wheel drive.  Tetapi jangan khawatir, perjalanan berat segera terobati. melongok keluar jendela, udara sejuk dan panoramana alam mengundang takjub. Hutan cemaran dengan padang rumputnya, gugusan gunung dan perbukitan, serta onggokan batu-batu alam memanjakan mata sepanjang perjalanan. Sahabat juga akan menjumpai gerombolan sapi yang digembalakan.
Sinar Matarai Menusuk Disela-sela Barisan Pohon Cemara
Beraltar Rumput hijau
Tidak terasa, perjalanan kami sampai di Desa Fatumnasi. Rombongan kami berhenti di kantor Desa Fatumnasi. Hari mulai gelap. Beberapa sahabat bergegas mengambil jaket untuk menangkal rasa dingin. Sama halnya pegunungan lainnya, udara di Fatumnasi Amat dingin, terlebih bagi yang terbiasa tinggal di Kota Kupang. Jadi bagi teman-teman yang ingin melakukan pendakian atau berekreasi ke Mutis, pakaian pengangat badan wajib di bawa. balik lagi ke perjalanan kami. Ternyata kedatangan kami telah ditunggu oleh Bapa Desa (kepala Desa-red). Begitu sampai Kantor Desa, kami dijamu dengan hangat. Beberapa tokoh masyarakat, dan juga warga desa yang sedia menemani kami mendaki juga merapat ke balai desa. Kami mulai berbincang dengannya. Di kantor Desa kami disuguhi kopi panas. Begitu dipersilahkan, kopi panas segera diseruput. “ayo cepat sebelum dingin” sergah salah seorang kawan. Maklum saja, udara di desa ini sangat dingin. Terlambat menikmati, kopi panas menjadi dingin. Sekitar satu jam kami berbincang-bincang, saatnya melanjutkan perjalanan ke basecamp pendakian. Kami meninap di Padang Loifui. Padang Loifui berada di dalam kawasan cagar alam Gunung Mutis. Jarak Padang Loifui dari Desa Fatumnasi tidak terlalu jauh. Tidak lebih dari 6 km tutur seorang warga desa yang ikut memandu kami. Tapi kondisi jalan yang rusak, sehingga harus menempuhnya selama satu jam. 

Jalan Panjang Menuju Fatumnasi
Api unggun untuk hangatkan badan
Guratan di wajah laki-laki itu begitu jelas. Klit keriput itu menandakan usianya tidak muda lagi. Usia senja tidak menjadi halngan menjelajah alam. Bapak tua bengitu gesit memandu kami menuju padang lelofui (baca: lel’fui). Nampaknya bapa tua begitu hafal daerah ini, menuju padang lelofui, kami menggunakan satu-satunya jalan yang menghubungkan Desa Fatumtasi dengan Desa Nenas. Jalan ini melitas hutan cagar alam Gunung Mutis. Jalan yang harus ada namun tidak dikehendaki keberadaanya. Harus ada karena jalan ini menghubungkan desa-desa di kaki gunung mutis. Disi lain, jalan ini membelah hutan yang termasuk dalam Cagar Alam Gunung Mutis. Sebagai kawasan cagar alam, maka undang-undang menyatakan tidak boleh ada pembangunan apapun termasuk jalan di dalam kawasan. Jangankan berhadap mendapat pengerasan dari pemerintah, statusnya saja sulit untuk diakui. Inilah dilema aturan pada tataran ideal dengan kenyataan yang dihadapi masyarakat. Salah seorang warga desa yang ikut dalam pendakian menceritakan status jalan ini menyebabkan pemerintah daerah tidak bisa memberikan bantuan berupa pengerasan. Sekitar seminggu sebelumnya ada rombongan harus tertahan selama tiga hari di padang lelofui  karena hujan. Kalau hujan jalan ini tidak bisa dilalui kendaraan kisahnya. Saya sendiri sulit mendekripsikan lokasi itu secara jelas, karena perjalanan dilakukan pada malam hari. Yang saya bisa amati, Driver kami terlihat beberapa kali harus mengaktifkan 4WDnya. Diperjalanan kami menjumpai jembatan yang sudah rubuh, sehingga kendaraan kami harus menuruni sungai. Sahabat pendakian saya Norman menceritakan kalau warga setempat melakukan ritual apabila baru membeli kendaraan. Setap warga yang membeli motor selalu melakukan ritual disitu terang Norman sambil menujuk ujung jembatan yang sudah rubuh tadi. Mas Ito, driver kami langsung mengaktifkan 4WDnya, sambil bergumam, wah PicUp dibelakang sulit melewati medan ini. Makklum dari empat kedaraan yang kami gunakan, memang satu kendaraan tidak dilengkapi 4WD.  Setelah sekitar 30 menit perjalanan, kami mengambil haluan kanan disebuah tugu. Masyarakat setempat menyebutnya tugu pintu masuk padang lelofui. Dipimpin tua adat, kami memohon ijin memasuki hutan. Dengan sigap, Bapa Tua adat menyiapkan sirih pinang, dan meletakkanya di tugu. Peserta lainnya ikut menghaturkan persembahan, ada yang menaruh rokok, siring pinang, ada juga koin. Bapa tua segera mengucapkan matra dengan bahasa timor. Saya tidak mengerti apa yang diucapkan, tapi yang saya tangkap beliau sedang memohon ijin untuk memasuki kawasan hutan. Beberapa yang familiar coba saya konfirmasi mengungkapkan kita sedang memohon ijin untuk memasuki kawasan hutan itu. Menurut kepercayaan warga setempat, bagi mereka yang ingin memasuki hutan gunung mutis, harus meminta ijin dan akan mempersembahkan (meninggalkan) sesuatu di tugu ini. Selesai memohon ijin, melanjutkan perjalanan ke Padang Lelofui.
Togor Dulu Sebelum Masuk Lelofui Di Kantor Desa Fatumnasi
Sekitar setengah jam perjalanan, kami sampai di padang Lelofui. Angina dingin menusuk sumsum tulang belakang. Beberapa orang sahabat pendakian menganggap udara tidak begitu dingin. ini belum begitu dingin sergahnya, kalau bulan Juni-Juli puncak dingin disini (baca: mutis). Kami mendaki di Bulan Agustus, suhu di masih cukup dingin, namun puncak dingin sudah lewat. Menghidari aging yang kencang, kami mencari lokasi yang sedikit terlindung. Akhirnya kami menepi disisi selatan padang, terlindung oleh pepohonan dari angin timur. Di Base cam ini kami membangun dua tenda. Urusan bangun tenda, om Remi menjadi komandan kawan-kawan resimen mahasiswa (menwa)  yang ikut pendakian kali ini. Beberapa perdebatan kecil terdengar diantara kawan-kawan menwa seputara pemasangan kaki-kali dan tiang penyangga tenda. Namun perdebatan itu tidak berlangasung lama, akhirnya satu tenda terbangun. Membangun tenda kedua membutuhkan waktu lebih singkat. Satu tenda mampu menampung sekitar 10 sampai 15 orang.
Udara dingin di padang lelofui mulai terasa. Namun rasa dingin itu hilang oleh suasana keakaraban diantara kami. Tidak ada lagi sekat masyarakat, mahasiswa, , dosen, bahkan Pembantu Rektor bidang kerjasama berbaur menjadi satu. Tenda terbagun, api unggun juga membumbung. Api unggun sangat membantu menghangatkan badan sekalian untuk memasak beberapa bahan makanan untuk makan malam kami. Saya tidak melewatkan malam di padang lelofui begitu saja. Saya memilih tidur diluar tenda, dekan dengan perapian. Menikmati bintang-bintang di langit tentu sensasi yang tidak ingin dilewatkan. Saya tidak sendirian, banyak kawan-kawan memilih bertahan di api unggun.
Waktu menunjukkan jam 03 pagi. Beberapa kawan-kawan mulai menyiapkan ubi dan pisang untuk dibakar. Ubi dan pisang bakar menjadi menu sarapan kami sebelum melakukan pendakian.
Setelah beberapa lama tidak sempat bercerita, hari ini jari-jari saya kembali digerakkan untuk membuat catatan kecil yang bagi saya sangat berkesan selama menapak tanah Timor. Menginap di padang Lelofui, mengingatkan saya beberapa tahun yang lalu sering menginap di hutan tanpa tenda. Tapi kali ini daya tidak akan bercerita mengenai menginap tanpa tenda atau penginap di Lelofui. Lelofui adalah awal cerita ketiga dari acara pendakian di Gunung Mutis. Puncak Mutis merupakan daratan teringgi di Timor Barat. Misi pendakian ke mutis ini digulirkan oleh Bapak Wayan Mudita untuk memperingati 52 Tahun Undana.

Dimulai dari Bukit “Telletubies”
Pagi Itu hari masih gelap. Bapa tua Sem Luli dan kawan-kawan kembali mencari ranting-ranting kering yang kemudian dibakar. Kali ini api tidak hanya untuk menghangatkan badan, tetapi juga mempersiapkan “sarapan” pagi kami. Ubi bakar dan pisang bakar menjadi menu santap hampir siang (baca: dini hari] kami. Sementara itu, beberapa sahabat pendakian lainnya membongkar tenda dan merapikannya. Berbagi ubi bakar dan pisang bakar ditemani kopi panas tentu memberikan suasana berbeda dalam dinginnya pagi Lelofui. Bagi saya, sda yang spesial menu di pagi ini. Menyantap Ubi bakar saya sudah terbiasa ketika masa kecil dulu kampung halaman (baca: dusun langkan-Bangli). Pisang bakar juga saya sudah terbiasa, apalagi kopi panasnya. Yang unik bagi saya, pisang yang dibakar adalah pisang yang masih mentah. Ini menu baru bagi saya. Kalau pisang yang sudah matasng di bakar, rasanya akan manis, sedikit lembek. Sementara pisang bakar ala fatumnasi ini teksturnya padat, tidak terlalu manis, dan gurih. Memang Masyarakat timor lebih suka pisang dibakar yang mentah. Pisang yang dibakar juga khusus. Kami mencari pisang sewaktu perjalanan sebelum memasuki kota So’E. Dalam perjalanan Kupang-So’E, mobil kami beberapa kali  berhenti di pedagang pisang pinggir jalan. Kita Cari pisang Luan (baca: Luang) sergah Norman. Pisang luang merupakan salah satu pisang yang banyak tumbuh di Kabupaten TTS. Pisang ini paling enak kalau dibakar ungkap Norman.
Usai menyantap pisang dan ubi, kami bersiap melakukan pendakian. Membelah padang Lelofui menuju Padang II (baca: padang II adalah hamparan padang dibagian atas sebelah utara padang lelofui). Antara padan lelofui dan padang II, dipisahkan hutan yang didominasi ampupu, Cemaran, dan berbagai cenis tumbuhan tropis lainnya. Waktu perjalanan dari basecamp hingga padang bisa ditempuh dalam waktu satu jam. Namun karena sambari menikmati suasana sunrise, dan fanorama lainnya. Perjalanan menuju padang kami tempuh dalam dua jam. Berjalan dari basecamp hingga memasuki hutan, kami menikmati sunrise. Warna oranye menyeruak diupuk timur dengan latar perbukitan dan awan tipis mengundang takjub. Jepretan kamera tidak henti-henti mengabadikan moment ini. Melewati beberapa gundukan ‘telletubies’ (baca: bukit-bukit padang seperti di film telletubies) kami menjumpai Bonsai Alam. Bosai alam (baca: pohon akuna) merupakan julukan masyarat sekitar untuk pepohonan kerdil yang berumur ratusan tahun. “Hutan Bonsai” menjai salah trademark wisata alam di Mutis. Dari dulu itu pohon sonde tambah besar, hanya begitu-begitu saaa… (baca: selama bertahun-tahun pohon itu tidak tambah besar) tutur Bapa Anin, salah satu tokoh adat fatumnasi dan pemilik satu-satunya guest house di Fatumnasi. Bonsai alam memang menakjubkan, karakter dahan dan rating yang khas layaknya bonsai buatan. Paparan matarahari pagi dengan langit oranye menabah anggun jajaran hutan bonsai ini. Kami sibuk mencari engel terbaik untuk mengabadikan setiap sudut di ujung padang lelofui ini.
Mengintip Keagungan Karya-Nya
Memasuki hutan, derap langkah kami mulai teratur. Jalur pendakian lumayan terjal dan membuat kami beberapa kali berhenti untuk menarik nafas, sambil sesekali mengabadikan dengan camera pohon ampupu di sekeliling kami. Ampupu merupakan salah satu jenis pohon yang khas dan  tumbuh di Gunung Mutis. Menapak padang II, semangat kami semakin bertambah. Segera menuju punggung bukit untuk meinkmati indahnya panorama dengan pandangan yang lebih luas. Padang yang berada di bagian atas ini memiliki luasan yang lebih kecil dibandingkan Lelofui tempat kami menginap. Disini kami menemukan jejak-jejak peradaban. Menurut warga desa, di areal padang ini dahulu sempat bermukim seorang warga Negara Belanda. Bekas-bekas pondasi rumahnya masih ada sampai sekarang ungkapnya. Namun saya tidak sempat melihat langsung sisa-sisa bangunan itu karena sudah ditumbuhi semak-semak dan diluar jalur pendakian. Tetapi, di padang saya menjumpai kuburan warga Beladna itu. Gundukan yang ditimbun bebatuan dengan nisan dari kayu itu adalah kuburan orang belanda  warga yang mendampingi kami menuturkan kepada saya. Dari padang II, kami menikmati gugusan perbukitan dan gunung-gunung. Di Sisi barat, nampak dikejauhan  Gunung Timau berdiri kekar berselimut awan tipis. Disisi utara, kami bisa melihat puncak mutus yang sebentar lagi akan kami tapak.
Sekitar 15 menit berada di padang, kami melanjutkan perjalanan menuju “pintu” pendakian. Terdapat tugu batu besar di pintu itu. Bagi yang ingin melakukan pendakian, biasanya meminta ijin di tugu ini. Bapa Tua Sem Luli memandu kami memohon ijin menapak puncak mutis. Pendakian dibagi dalam dua belas tangga. Tangga dimaksud adalah tanjakan yang ada dalam jalur pendakian. Berbeda dengan melakukan pendakian di gunung berapi, jalur pendakian di mutis relatif ‘aman’. Tantangan dalam pendakian adalah jalur yang terjal, dan panjang. Dari pintu pendakian hingga puncak, kami memerlukan waktu 3 jam lebih. Hutan Gunung mutis didominasi pohon ampupu dan cemara. Pohon ampupu dan cemara berukuran besar banyak dijumpai terutama di bagian bunggung bukit. Menapak puncak gunung, saya hanya menjumpai pohon ampupu berukuran kecil hingga sedang. Tidak ada ampupu berukuran besar yang saya jumpai di puncak mutis.

Bertemu Barbara, Gadis Cantik dari Rusia.
Di padang, kami berjumpa seorang wisatawan asal rusia yang juga sedang melakukan pendakian. Beberapa teman sempat berkenalan, dan berbincang dengan wisatawan ini. Namanya Barbara, wanita ini datang sendirian ke Fatumnasi. Menginap di Guest house milik bapa Anin, Barbara ditemani seorang pemandu menapa mutis. Kami sempat berjalan bersama hingga tugu “pintu masuk” ke puncak mutis. Namun gerak lincah, dan stamina yang stabil, hanya beberapa menit kemi bersama, Barbara berlalu meninggalkan rombongan kami. “orang rusia sa pi mutis, masa ktong sonde datang pi mutis” gumam om Ben (sapaan akrab Bapak Arben Malelak), owner Diler Kawasaki di Kota Kupang yang juga ikut dalam rombongan kami. Benar saja panorama mutis begitu memukau bagi para petualang. Di tangga ke delapan akhirnya saya dengan beberapa teman berjumpa lagi dengan Barbara. Namun, posisinya tidak lagi sama-sama menuju puncak mutis. Barbara sudah turun dari puncak ketika kami berjumpa. Untuk dmengabadikan perjumpaan singkat ini, beberapa teman berfoto bersama dengannya. Karena saya yang pegang kamera, jadi tidak in frame L. Tapi dari pertemuan singkat di mutis ini saya memetik beberapa pelajaran penting darinya. Kita memiliki alam begitu indah, tapi sebagian dari kita lebih gandrung dengan dunia luar negeri. Saca tidak atni luar negeri, tapi banyak yang beranggapan yang ‘disana’ lebih baik. Pandangan ini semakin bulat ketika saya menonton film 5CM. saya bangga terlahir di Negra ini, Negara dengan alam yang begitu indah. Pelajran berikutnya NTT khususnya kupang telah siap menjadi tujuan wisata dunia. Gadis yang berumur 25 tahun (prediksi saya) telah menjelajah Mutis di Timor Barat. Tapi sudahkan masyarakatnya dibangun untuk siap menerima kunjungan ? itu prakara berikutnya yang harus diselesaikan sebelum wisatawan tumpah ruah di Timor Barat.
Beranjak lagi dari pertemuan kami dengan Barbara, beberapa meter berikutnya saya dengan beberapa teman akhirnya menapak tangga ke sebelas. Tempat ini sebenarnya adalah salah satu puncak Mutis disisi timur. Namun puncak tertinggi ada beberapa puluh meter di sisi baratnya. Di puncak ini saya merasakah perasaan menakjubkan tentang keberasan tuhan, sekaligus mempertegas betapa kecilnya saya. Dibawah jajaran ampupu, kami berteriak sekeras-kerasnya sebagai expresi kegembiaraan, meski belum berada di puncak tertinggi. Sekitar lima belas menit di puncak ini, kami bergegas menuju puncak. Hanya beberapa menit kami berhasil mencapai puncak. Tugu 2.417 mdpl (meter diatas permukaan laut) telah menunggu. Beberapa teman rombongan pertama telah terlebih dahulu di sana. Akhirnya misi mengibarkan bendera merah putih, dan bendara Universitas Nusa Cendana di daratan tertinggi di bumi Timor Barat tercapai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar