Jumat, 26 September 2014

Menginap di Padang Lelofui [Lel'fui]

Senyum Sumringah Bapa Tua Sem Luli di punggung Mutis
Guratan di wajah laki-laki itu begitu jelas. Kulit keriput itu menandakan usianya tidak muda lagi. Usia senja tidak menjadi halangan menjelajah alam. Bapak tua Sem Luli bengitu gesit memandu kami menuju padang lelofui (baca: lel’fui). Nampaknya bapa tua begitu hafal daerah ini, menuju padang lelofui, kami menggunakan satu-satunya jalan yang menghubungkan Desa Fatumtasi dengan Desa Nenas. Jalan ini melitas hutan cagar alam Gunung Mutis. Jalan yang harus ada namun tidak dikehendaki keberadaanya. Harus ada karena jalan ini menghubungkan desa-desa di kaki gunung mutis. Disi lain, jalan ini membelah hutan yang termasuk dalam Cagar Alam Gunung Mutis. Sebagai kawasan cagar alam, maka undang-undang menyatakan tidak boleh ada pembangunan apapun termasuk jalan di dalam kawasan. Jangankan berhadap mendapat pengerasan dari pemerintah, statusnya saja sulit untuk diakui. Inilah dilema aturan pada tataran ideal dengan kenyataan yang dihadapi masyarakat. Salah seorang warga desa yang ikut dalam pendakian menceritakan status jalan ini menyebabkan pemerintah daerah tidak bisa memberikan bantuan berupa pengerasan.
Sekitar seminggu sebelumnya ada rombongan harus tertahan selama tiga hari di padang lelofui  karena hujan. Kalau hujan jalan ini tidak bisa dilalui kendaraan kisahnya. Saya sendiri sulit mendekripsikan lokasi itu secara jelas, karena perjalanan dilakukan pada malam hari. Yang saya bisa amati, Driver kami terlihat beberapa kali harus mengaktifkan 4WDnya. Diperjalanan kami menjumpai jembatan yang sudah rubuh, sehingga kendaraan kami harus menuruni sungai. Sahabat pendakian saya Norman menceritakan kalau warga setempat melakukan ritual apabila baru membeli kendaraan. Setap warga yang membeli motor selalu melakukan ritual disitu terang Norman sambil menujuk ujung jembatan yang sudah rubuh tadi. Mas Ito, driver kami langsung mengaktifkan 4WDnya, sambil bergumam, wah PicUp dibelakang sulit melewati medan ini. Makklum dari empat kedaraan yang kami gunakan, memang satu kendaraan tidak dilengkapi 4WD.  Setelah sekitar 30 menit perjalanan, kami mengambil haluan kanan disebuah tugu. Masyarakat setempat menyebutnya tugu pintu masuk padang lelofui. Dipimpin tua adat, kami memohon ijin memasuki hutan. Dengan sigap, Bapa Tua adat menyiapkan sirih pinang, dan meletakkanya di tugu. Peserta lainnya ikut menghaturkan persembahan, ada yang menaruh rokok, siring pinang, ada juga koin. Bapa tua segera mengucapkan matra dengan bahasa timor. Saya tidak mengerti apa yang diucapkan, tapi yang saya tangkap beliau sedang memohon ijin untuk memasuki kawasan hutan. Beberapa yang familiar coba saya konfirmasi mengungkapkan kita sedang memohon ijin untuk memasuki kawasan hutan itu. Menurut kepercayaan warga setempat, bagi mereka yang ingin memasuki hutan gunung mutis, harus meminta ijin dan akan mempersembahkan (meninggalkan) sesuatu di tugu ini. Selesai memohon ijin, melanjutkan perjalanan ke Padang Lelofui.

Memohon Ijin sebelum masuk padang Lelofui
Sekitar setengah jam perjalanan, kami sampai di padang Lelofui. Angina dingin menusuk sumsum tulang belakang. Beberapa orang sahabat pendakian menganggap udara tidak begitu dingin. ini belum begitu dingin sergahnya, kalau bulan Juni-Juli puncak dingin disini (baca: mutis). Kami mendaki di Bulan Agustus, suhu di masih cukup dingin, namun puncak dingin sudah lewat. Menghidari aging yang kencang, kami mencari lokasi yang sedikit terlindung. Akhirnya kami menepi disisi selatan padang, terlindung oleh pepohonan dari angin timur. Di Base cam ini kami membangun dua tenda. Urusan bangun tenda, om Remi menjadi komandan kawan-kawan resimen mahasiswa (menwa)  yang ikut pendakian kali ini. Beberapa perdebatan kecil terdengar diantara kawan-kawan menwa seputara pemasangan kaki-kali dan tiang penyangga tenda. Namun perdebatan itu tidak berlangasung lama, akhirnya satu tenda terbangun. Membangun tenda kedua membutuhkan waktu lebih singkat. Satu tenda mampu menampung sekitar 10 sampai 15 orang.
Membangun Tenda untuk Peristirahatan
Udara dingin di padang lelofui mulai terasa. Namun rasa dingin itu hilang oleh suasana keakaraban diantara kami. Tidak ada lagi sekat masyarakat, mahasiswa, , dosen, bahkan Pembantu Rektor bidang kerjasama berbaur menjadi satu. Tenda terbagun, api unggun juga membumbung. Api unggun sangat membantu menghangatkan badan sekalian untuk memasak beberapa bahan makanan untuk makan malam kami. Saya tidak melewatkan malam di padang lelofui begitu saja. Saya memilih tidur diluar tenda, dekan dengan perapian. Menikmati bintang-bintang di langit tentu sensasi yang tidak ingin dilewatkan. Saya tidak sendirian, banyak kawan-kawan memilih bertahan di api unggun.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar