|
Senyum Sumringah Bapa Tua Sem Luli di punggung Mutis |
Guratan di wajah laki-laki itu begitu
jelas. Kulit keriput itu menandakan usianya tidak muda lagi. Usia senja tidak
menjadi halangan menjelajah alam. Bapak tua Sem Luli bengitu gesit memandu kami menuju
padang lelofui (baca: lel’fui). Nampaknya bapa tua begitu hafal daerah ini, menuju
padang lelofui, kami menggunakan satu-satunya jalan yang menghubungkan Desa
Fatumtasi dengan Desa Nenas. Jalan ini melitas hutan cagar alam Gunung Mutis.
Jalan yang harus ada namun tidak dikehendaki keberadaanya. Harus ada karena
jalan ini menghubungkan desa-desa di kaki gunung mutis. Disi lain, jalan ini
membelah hutan yang termasuk dalam Cagar Alam Gunung Mutis. Sebagai kawasan
cagar alam, maka undang-undang menyatakan tidak boleh ada pembangunan apapun termasuk
jalan di dalam kawasan. Jangankan berhadap mendapat pengerasan dari pemerintah,
statusnya saja sulit untuk diakui. Inilah dilema aturan pada tataran ideal
dengan kenyataan yang dihadapi masyarakat. Salah seorang warga desa yang ikut
dalam pendakian menceritakan status jalan ini menyebabkan pemerintah daerah
tidak bisa memberikan bantuan berupa pengerasan.
Sekitar seminggu sebelumnya
ada rombongan harus tertahan selama tiga hari di padang lelofui karena hujan. Kalau hujan jalan ini tidak
bisa dilalui kendaraan kisahnya. Saya sendiri sulit mendekripsikan lokasi itu
secara jelas, karena perjalanan dilakukan pada malam hari. Yang saya bisa
amati, Driver kami terlihat beberapa kali harus mengaktifkan 4WDnya. Diperjalanan
kami menjumpai jembatan yang sudah rubuh, sehingga kendaraan kami harus
menuruni sungai. Sahabat pendakian saya Norman menceritakan kalau warga
setempat melakukan ritual apabila baru membeli kendaraan. Setap warga yang
membeli motor selalu melakukan ritual disitu terang Norman sambil menujuk ujung
jembatan yang sudah rubuh tadi. Mas Ito,
driver
kami langsung mengaktifkan 4WDnya, sambil bergumam, wah PicUp dibelakang sulit
melewati medan ini. Makklum dari empat kedaraan yang kami gunakan, memang satu
kendaraan tidak dilengkapi 4WD. Setelah
sekitar 30 menit perjalanan, kami mengambil haluan kanan disebuah tugu.
Masyarakat setempat menyebutnya tugu pintu masuk padang lelofui. Dipimpin tua
adat, kami memohon ijin memasuki hutan. Dengan sigap, Bapa Tua adat menyiapkan
sirih pinang, dan meletakkanya di tugu. Peserta lainnya ikut menghaturkan
persembahan, ada yang menaruh rokok, siring pinang, ada juga koin. Bapa tua
segera mengucapkan matra dengan bahasa timor. Saya tidak mengerti apa yang
diucapkan, tapi yang saya tangkap beliau sedang memohon ijin untuk memasuki
kawasan hutan. Beberapa yang familiar coba saya konfirmasi mengungkapkan kita
sedang memohon ijin untuk memasuki kawasan hutan itu. Menurut kepercayaan warga
setempat, bagi mereka yang ingin memasuki hutan gunung mutis, harus meminta
ijin dan akan mempersembahkan (meninggalkan) sesuatu di tugu ini. Selesai
memohon ijin, melanjutkan perjalanan ke Padang Lelofui.
|
Memohon Ijin sebelum masuk padang Lelofui |
Sekitar setengah jam perjalanan,
kami sampai di padang Lelofui. Angina dingin menusuk sumsum tulang belakang.
Beberapa orang sahabat pendakian menganggap udara tidak begitu dingin. ini
belum begitu dingin sergahnya, kalau bulan Juni-Juli puncak dingin disini
(baca: mutis). Kami mendaki di Bulan Agustus, suhu di masih cukup dingin, namun
puncak dingin sudah lewat. Menghidari aging yang kencang, kami mencari lokasi
yang sedikit terlindung. Akhirnya kami menepi disisi selatan padang, terlindung
oleh pepohonan dari angin timur. Di Base cam ini kami membangun dua tenda. Urusan
bangun tenda, om Remi menjadi komandan kawan-kawan resimen mahasiswa (menwa) yang ikut pendakian kali ini. Beberapa
perdebatan kecil terdengar diantara kawan-kawan menwa seputara pemasangan
kaki-kali dan tiang penyangga tenda. Namun perdebatan itu tidak berlangasung lama,
akhirnya satu tenda terbangun. Membangun tenda kedua membutuhkan waktu lebih
singkat. Satu tenda mampu menampung sekitar 10 sampai 15 orang.
|
Membangun Tenda untuk Peristirahatan |
Udara dingin di padang lelofui
mulai terasa. Namun rasa dingin itu hilang oleh suasana keakaraban diantara
kami. Tidak ada lagi sekat masyarakat, mahasiswa, , dosen, bahkan Pembantu
Rektor bidang kerjasama berbaur menjadi satu. Tenda terbagun, api unggun juga membumbung.
Api unggun sangat membantu menghangatkan badan sekalian untuk memasak beberapa
bahan makanan untuk makan malam kami. Saya tidak melewatkan malam di padang
lelofui begitu saja. Saya memilih tidur diluar tenda, dekan dengan perapian.
Menikmati bintang-bintang di langit tentu sensasi yang tidak ingin dilewatkan.
Saya tidak sendirian, banyak kawan-kawan memilih bertahan di api unggun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar