 |
Senyum Sumringah Bapa Tua Sem Luli di punggung Mutis |
Guratan di wajah laki-laki itu begitu
jelas. Kulit keriput itu menandakan usianya tidak muda lagi. Usia senja tidak
menjadi halangan menjelajah alam. Bapak tua Sem Luli bengitu gesit memandu kami menuju
padang lelofui (baca: lel’fui). Nampaknya bapa tua begitu hafal daerah ini, menuju
padang lelofui, kami menggunakan satu-satunya jalan yang menghubungkan Desa
Fatumtasi dengan Desa Nenas. Jalan ini melitas hutan cagar alam Gunung Mutis.
Jalan yang harus ada namun tidak dikehendaki keberadaanya. Harus ada karena
jalan ini menghubungkan desa-desa di kaki gunung mutis. Disi lain, jalan ini
membelah hutan yang termasuk dalam Cagar Alam Gunung Mutis. Sebagai kawasan
cagar alam, maka undang-undang menyatakan tidak boleh ada pembangunan apapun termasuk
jalan di dalam kawasan. Jangankan berhadap mendapat pengerasan dari pemerintah,
statusnya saja sulit untuk diakui. Inilah dilema aturan pada tataran ideal
dengan kenyataan yang dihadapi masyarakat. Salah seorang warga desa yang ikut
dalam pendakian menceritakan status jalan ini menyebabkan pemerintah daerah
tidak bisa memberikan bantuan berupa pengerasan.