Jumat, 20 Desember 2013

Kepemimpinan yang memimpin

MENYIMAK CERITA ATUT HARI INI, saya jadi teringat beberapa hari yang lalu seorang gubernur di jepang mengundurkan diri setelah mengaku menerima uang sebesar US$ 500.000,- dari pihak swasta. ini artinya bagaimana seorang pemimpin menjaga kepercayaan kepada institusi yang dia sempat pimpin. gubernur  itu tidak mencari-cari dalih hukum untuk pembenaran dan mempertahankan kuasanya. 
Di negara ini, kalau tersandung masalah, para pemimpin kita sibuk mencari-cari pembenar. Atas nama HAM, mencari dalih bahwa hak asasinya harus dihargai. Saya belum ditetapkan bersalah, jadi saya masih menjadi Gubernur. undang-undang mengatakan, selama belum memiliki kekuatan tetap, sang gubernur tidak dapat diturunkan. kenapa harus diturunkan ? kenapa tidak turun sendiri ? kalau proses ini berlarut-larut, berapa kegiatan yang akan tersandra oleh egiosnya "kita" mempertahankan kekuaasaan. Atas nama HAM, setiap orang harus dihargai. tetapi dalam pandangan saya, pemaknaan kita terhadap HAM di Timur tidak saja hak personal yang di jamin, tetapi bagaimana personal juga menghargai hak (kepentingan) bersama. 

Cerita ini mungkin bisa menggambarkan bagaimana orang harus menghargai dan dihargai. Penulis kondang Putu wijaya ketika menjadi pembicara pada suatu seminar di Denpasar beberapa tahun lalu. Dirinya mendengar kabar bahwa ibunya meninggal di kampung halamannya (Bali). Seketika itu dirinya bergegas dari perantauanyannya di Ibu kota pulang ke kampung halaman. inilah teralhir kalinya seorang anak  dapat menunjukkan bhaktinya kepada orang tua. Ketika sampai rumah, di Banjar-nya sedang ada upacara adat. Sesampai di rumah, dirinya menjumpai sang ibu ditidurkan bengitu saja tanpa diperlakukan seperti layaknya orang meninggal. Tidak ada yang melayat, tidak ada warga banjar yang megebagan (berjaga ketika ada orang meninggal). Warga banjar masih kyusuk mengikuti prosesi persembahyangan di pura banjar. Dirumahnya, dia temukan beberapa kerabat dekat saja. Dirinya bertanya, kenapa ibu saya diperlakukan seperti ini ?. apakah karena saya tinggal jauh trus diperlakukan seperti ini ? Salah seorang anggota keluarga yang dituakan kemudian menjelaskan. Ibu kamu masih tidur (dianggap tidur dan belum mati). Dibanjar masih ada upacara adat. kalau kematian  ini disiarkan kepada warga, maka upacara dibanjar batal. Setiap ada orang meninggal di desa, seluruh desa akan leteh (kotor). Pada kondisi ini, berarti warga banjar tidak bisa menjalankan prosesi upacara. padahal, upacara itu sudah dipersiapkan cukup lama ungkapnya. Jadi, biar selesai dulu upacara itu, baru kita lakukan prosesi sebagai mana mestinya tetua itu menjelaskan. 
Pelajaran berharga yang dapat saya petik dari cerita kematian yang "ditunda itu". Sebagai bangsa timur sebenarnya lebih dahulu mengenal HAM. HAM dimaknai bagaimana kita menghargai kepentingan bersama bukan golongan apalagi peronal. Hak ibu itu untuk menjadi orang mati harus dikorbankan dengan  "menunda" kematiannya, karena diluaran sana masih ada kepentingan yang lebih besar. Cerita dari negara produsen City_car sampai banjar produsen Cikar memberikan pesan yang sama. Mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan personal. pemimpin bukan sekedar melanggengkan kekuasaan, tapi memberikan tauladan kepada rakyatnya. pemimpin menjadi pemantik mimpi para rakyatnya, bukan mematikan kepercayaan pada kepemimpinan. Dalam kasus atut, kalau toh dia tidak bersalah, dan dia terlanjur mengundurkan diri, rakyat pasti tidak buta dan tuli. suatu saat, kalo toh dia tidak bersalah, mungkin dia akan dipercaya dalam kancah yang lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar