Materi ini adalah materi pertemuan ke-6 mata kuliah akutansi manajemen. pertemuan hari ini, kita akan menggunakan media BLOG, dan Classroom sebagai ruang kuliah kita. tpoik bahasan kita adalah penyelesaian laporan Rugi-Laba baik dengan metoda variable costing dan full costing. materi ini adalah lanjutandari materi yang telah kita bahas di pertemuan ke 5 tentang harga pokok produksi dengan metoda biaya variabel (Variable costing dan biaya total (full Costing). olehkarenanya, sebelum kita masuk ke rugi laba, maka kita akan sedikit membahas kembali biaya variabel dan biaya total. Sebelum melanjutkan diskusi, perlu saya deklarasikan bahwa materi yang disampaikan dihimpun dari berbagai sumber yang tidak dikutif secara khusus dalam tulisan ini.
Perbedaan
Variabel Costing Dengan Full Costing yaitu Menurut
absorption costing atau full costing, harga pokok produk meliputi seluruh
komponen biaya yang dikeluarkan untuk membuat produk. Harga
pokok produk menurut metode ini: bahan baku, tenaga kerja langsung, overhead
variabel dan overhead tetap. perbedaan kedua metoda ini adalah pada pembebanan biaya terhadap produk, yang terlihat ketika stok tersisa di perioda berikutnya.
1. Harga
Pokok Per Unit dan Total
Ø Perbedaan
pertama adalah dalam harga pokok per unit dan harga pokok total.
Contoh:
Perusahaan ABC pada tahun 2018 memproduksi 10.000 kaleng susu dengan data biaya
sesungguhnya sebagai berikut:
Elemen Biaya
|
Total
|
Per Unit
|
Bahan baku
Upah langsung
Overhead variabel
Overhead tetap
|
Rp. 100.000,-
Rp. 200.000,-
Rp. 150.000,-
Rp. 250.000,-
|
Rp. 10,-
Rp. 20,-
Rp. 15,-
Rp. 25,-
|
Jika
perusahaan ABC menggunakan harga pokok sesungguhnya, maka harga pokok per unit
dan total dari dua metode tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
TABEL 1. HARGA POKOK PRODUK
VARIABEL COSTING VS ABSORPTION COSTING
Elemen Biaya
|
Variabel Costing
|
full Costing
|
||
Per Unit (Rp)
|
Total (Rp)
|
Per Unit (Rp)
|
Total (Rp)
|
|
Bahan baku
Upah langsung
Overhead variabel
Overhead tetap
|
10,-
20,-
15,-
-
|
100.000,-
200.000,-
150.000,-
-
|
10,-
20,-
15,-
25,-
|
100.000,-
200.000,-
150.000,-
250.000,-
|
Jumlah
|
45,-
|
450.000,-
|
70,-
|
700.000,-
|
Ø Dari
tabel diatas menunjukkan bahwa harga pokok produk per unit menurut variabel
costing adalah Rp. 45,- dan menurut absorption costing adalah Rp. 70,-. Selisih
Rp. 25.,- terjadi karena varibel costing tidak memasukkan overhead tetap,
sedangkan full costing memasukkannya sebagai komponen harga pokok produk.
Karena harga pokok per unitnya berbeda, maka harga pokok totalnya juga berbeda.
Perbedaannya adalah Rp. 250.000,- yakni overhead tetap total tahun 2018. Jumlah
tersebut diakui oleh variabel costing sebagai biaya periode (period cost).
1. Oeverhead
Lebih (Kurang) Dibebankan
Ø Perbedaan
kedua adalah adanya overhead lebih (kurang) dibebankan yang mungkin terjadi
pada absorption costing jika pembebanan overhead ke produk menggunakan tarif
standar atau tarif yang ditentukan di muka.
Ø Pembebanan
overhead ke produk dapat dilakukan dengan dua metode:
a.
Membebankan overhead yang sesungguhnya telah
dikeluarkan
b.
Membebankan overhead ke produk dengan
menggunakan tariff yang ditentukan di muka, metode ini digunakan untuk
kepentingan perencanaan dan pengendalian overhead pabrik.
Pembebanan
overhead ke produk dengan tariff yang ditentukan dimuka menggunakan prosedur
sebagai berikut:
1.
Penentuan besarnya anggaranoverhead dan
kapasitas produksi untuk menentukan tariff. Ada beberapa kapasitas yang dapat
digunakan untuk menentukan tariff, diantaranya adalah kapasitas normal.
2.
Penentuan tariff overhead
3.
Pembebanan overhead ke produk
Contoh:
Untuk tahun 1993 sebuah
perusahaan minuman menetapkan anggaran overhead tetap sebesar Rp. 250.000,- dan
anggaran overhead variabel sebesar Rp. 187.500,- dengan kapasitas normal 12.500
kaleng minuman. Dengan data ini, tariff overhead yang ditentukan dimuka per
kaleng adalah Rp. 35,- sebagaimana perhitungan berikut:
Tarif Overhead Per Kaleng = Anggarang Biaya Overhead
Kapasitas
Normal
= Rp. 250.000,- + Rp.
187.500,-
12.500
= Rp. 437.500,-
12.500
= Rp. 35,-
Tarif sebesar Rp. 35,- di atas
terdiri atas tariff tetap Rp 20,- (Rp. 250.000,- dibagi 12.500) dan tariff
variabel Rp. 15,- ( Rp. 187.500 dibagi 12.500)
Jika pada tahun 1993 jumlah
produksi yang sesungguhnya dihasilkan adalah 10.000 kaleng maka overhead yang
dibebankan ke produk ke produk adalah Rp. 350.000,- yakni tariff dikalikan unit
produk yang dihasilkan (Rp. 35,- x
10.000)
c.
Menghitung Overhead Lebih (Kurang) Dibebankan
Ø Apabila
perusahaan menggunakan tariff overhead yang ditentukan dimuka, mungkin akan
timbul biaya overhead lebih (kurang) dibebankan.
Ø Pembebanan
lebih terjadi apabila kapasitas sesungguhnya lebih besar daripada kapasitas
normal.
Ø Sebaliknya,
pembebanan kurang terjadi apabila kapasitas sesungguhnya lebih kecil daripada
kapasitas normal.
Contoh:
Dengan contoh perusahaan ABC
diatas, pembebanan lebih (kurang) dapat dijelaskan sebagai berikut:
TABEL 2
HARGA POKOK YANG DIBEBANKAN KE PRODUK
VARIABEL
COSTING VS ABSORPTION COSTING
Elemen Biaya
|
Variabel Costing
|
Absorption Costing
|
||
Per Unit (Rp)
|
Total (Rp)
|
Per Unit (Rp)
|
Total (Rp)
|
|
Bahan baku
Upah langsung
Overhead variabel
Overhead tetap
|
10,-
20,-
15,-
-
|
100.000,-
200.000,-
150.000,-
-
|
10,-
20,-
15,-
20,-
|
100.000,-
200.000,-
150.000,-
200.000,-
|
Harga Pokok Produk
|
45,-
|
450.000,-
|
65,-
|
650.000,-
|
Ø Perhatikan
perhitungan absorption costing pada Tabel 2. harga pokok produk yang dibebankan
ke produk per unit adalah Rp. 65,- dan total Rp. 650.000,-. Harga pokok
sesungguhnya bukanlah sebesar itu melainkan Rp. 70,- per unit dan Rp. 700.000,-
seperti pada table 4.3
Ø Pada
Tabel 2 dan Tabel 3 nyata benar bahwa harga pokok produk dengan menggunakan
tariff yang ditentukan dimuka adalah Rp. 650.000,- sedangkan menurut harga
pokok produk yang sesungguhnya adalah rp. 700.000,-. Selisih Rp. 50.000,-
berasal dari selisih overhead. Overhead yang dibebankan ke produk dengan
menggunakan tariff di muka Rp. 350.000,- (tetap Rp. 200.000,- + variabel Rp.
150.000,-), sedangkan yang sesungguhnya Rp. 400.000,-. Jadi overhead yang
dibebankan ke produk lebih kecil daripada overhead yang sesungguhnya. Itulah
overhead kurang dibebankan yang merupakan selisih tidak menguntungkan.
TABEL 3. HARGA POKOK
SESUNGGUHNYA
MENURUT ABSORPTION
COSTING
Elemen
Biaya
|
Per
Unit
|
Total
|
Bahan baku
Upah langsung
Overhead variabel
Overhead tetap
|
Rp. 10,-
Rp. 20,-
Rp. 15,-
Rp. 25,-
|
Rp. 100.000,-
Rp. 200.000,-
Rp. 150.000,-
Rp. 250.000,-
|
Harga Pokok
Sesungguhnya
|
Rp. 70,-
|
Rp. 700.000,-
|
Ø Berapapun
jumlah produksi, overhead tetap yang sesungguhnya berjumlah Rp. 250.000,-.
Dengan demikian maka tariff overhead per unit yang sesunggunya adalah Rp. 25,-
(Rp. 250.000: 10.000)
Ø Mengapa
dalam contoh ini terjadi selisihoverhead kurang dibebankan? Sebabnya, kapasitas
sesungguhnya (10.000 kaleng) lebih kecil daripada kapasitas normal (12.500
kaleng).
Ø Rumus
menghitung selisih kapasitas adalah sebagai berikut:
SK = (KS-KN) x TT
|
Keterangan:
SK : Selisih
Kapasitas
KS : Kapasitas
Sesungguhnya
KN : Kapasitas
Normal (yang dipergunakan untuk menghitung tarif overhead)
TT : Tarif
overhead tetap per unit yang ditentukan di muka
Berdasarkan rumus diatas, selisih overhead kurang dibebankan
(selisih kapasitas) dapat dihitung sebagai berikut:
SK = (10.000 – 12.500) x Rp. 20,-
=
-500 x Rp. 20,-
=
- Rp. 50.000,-
(tanda minus menunjukkan selisih tidak menguntungkan)
Ø Pembebanan
kurang (lebih) hanya terjadi pada absorption costing. Inilah perbedaan antara
variabel costing dan absorption costingjika overheadnya menggunakan tariff yang
ditentukan di muka.
2. Penyajian
di Laporan Rugi Laba
Ø Menurut
variabel costing menggunakan format contribution margin, yakni menyajikan
informasi dengan mengurangkan lebih dahulu
seluruh biaya variabel dari penjualan baru kemudian mengurangkannya dengan
seluruh biaya tetap. Laporan dengan format ini hanya dipergunakan untuk laporan
intern dan dilarang dipergunakan untuk laporan ekstern, karena tidak sesuai
dengan prinsip akuntansi yang lazim.
Ø Menurut
absorption costing menggunakan pendekatan fungsional, yakni mengurangkan
seluruh biaya produksi (variabel dan tetap) dari penjualan dan kemudian
mengurangkannya dengan biaya-biaya operasi yang diklasifikasikan menurut
fungsi-fungsi pokok perusahaan. Laporan dengan format inilah yang diperbolehkan
untuk pihak ekstern karena sesuai dengan prinsip akuntansi yang lazim.
Ø Contoh
Untuk
memberi gambaran, disajikan contoh penyajian laporan rugi-laba dengan
menggunakan dua format tersebut. PT XYZ memproduksi makanan kalengan pada tahun
2014 dengan data produksi, penjualan dan biaya-biaya sesungguhnya adalah
sebagai berikut:
Keterangan
|
Jumlah
|
Biaya bahan baku per unit
Biaya tenaga kerja langsung perunit
Biaya overhead variabel per unit
Biaya overhead tetap total
Biaya administrasi variabel per unit
Biaya penjualan variabel per unit
(biaya administrasi dan penjualan variabel per
unit adalah variabel terhadap jumlah penjualan)
Biaya penjualan tetap total
Biaya administrasi tetap total
Produksi sesungguhnya 2014 sebanyak
Jumlah yang diproduksi seluruhnya terjual
dengan harga jual per unit
|
Rp. 10,-
Rp. 20,-
Rp. 15,-
Rp. 250.000,-
Rp. 5,-
Rp. 3,-
Rp. 1.000.000,-
Rp. 500.000,-
10.000 kaleng
Rp. 300,-
|
Ø Untuk
tahun 2014 PT XYZ menganggarkan biaya overhead tetap total Rp. 250.000,- dan
biaya overhead variabel total Rp. 187.500,- . jadi anggaran biaya overhead
totanya adalah Rp. 437.500,- . Anggaran ini didasarkan pada kapasitas normal
12.500 kaleng.
Ø Laporan
rugi laba dengan format contribution margin
PERUSAHAN XYZ
LAPORAN RUGI LAPA PERIODE 2014
Penjualan 10.000 kaleng @ Rp. 300,-
Harga Pokok Penjualan 10.000 kaleng @ Rp. 45,-
Manufacturing Margin
Biaya administrasi dan penjualan variabel
10.000 kaleng @ Rp. 8,- (Rp. 5,- + Rp. 3,-)
Contribution Margin
Biaya Tetap:
Administrasi Rp. 500.000,-
Penjualan Rp. 1.000.000,-
Overhead pabrik Rp.
250.000,-
|
Rp. 3.000.000,-
Rp. 450.000,-
Rp. 2.550.000,-
Rp.
80.000,-
Rp. 2.470.000,-
Rp. 1.750.000,-
|
Laba Bersih
|
Rp.
720.000,-
|
Harga
pokok penjualan dapat di hitung dengan cara sebagai berikut:
Persedian awal
Biaya Produksi:
Bahan 10.000 x Rp. 10,- Rp. 100.000,-
Upah langsung 10.000,- x Rp. 20,- Rp. 200.000,-
Overhead variabel 10.000,- x Rp. 15,- Rp. 150.000,-
Persedian tersedia dijual 10.000 x Rp. 45,-
Persedian akhir 0 x Rp. 45,-
|
Rp. 0,-
Rp. 450.000,-
Rp. 450.000,-
Rp. 0,-
|
Harga Pokok Penjualan
|
Rp. 450.000,-
|
Ø Laporan
dengan format pendekatan fungsional
PERUSAHAAN XYZ
LAPORAN RUGI LABA PERIODE 2014
Penjualan 10.000 kaleng @ Rp. 300,-
Harga pokok penjualan 10.000 kaleng @ Rp. 65,-
Overhead tetap kurang dibebankan
(10.000 – 12.500) @ Rp. 20,-
Harga Pokok Penjualan sesungguhnya
Laba Bruto
Biaya Operasi
Administrasi Rp. 530.000,- (b)
Penjualan Rp. 1.050.000,- (c)
Total Biaya Operasi
|
Rp. 3.000.000,-
Rp. 650.000,- (a)
Rp.
50.000,- (+)
Rp.
700.000,- (-)
Rp. 2.300.000,-
Rp. 1.580.000,- (-)
|
Laba Bersih
|
Rp.
720.000,-
|
a.
Harga Pokok Penjualan dapat dihitung sebagai
berikut:
Persediaan
awal Rp.
0,-
Biaya
Produksi
Bahan
10.000 x Rp. 10,- Rp.
100.000,-
Upah
langsung 10.000 x Rp. 20,- Rp.
200.000,-
Overhead
variabel 10.000 x Rp. 15,- Rp.
150.000,-
Overhead
tetap 10.000 x Rp. 20,- Rp.
200.000,-
Rp.
650.000,-
Persedian
siap dijual Rp.
650.000,-
Persedian
Akhir Rp.
0,-
Harga
Pokok Penjualan Rp.
650.000,-
b.
Biaya Administrasi:
Variabel
10.000 x Rp. 5,- Rp. 50.000,-
Tetap Rp.
1.000.000,-
Biaya
Administrasi Total Rp.
1.050.000,-
c.
Biaya Penjualan:
Variabel
10.000 x Rp. 3,- Rp. 30.000,-
Tetap Rp.
500.000,-
Biaya
Penjualan Total Rp.
530.000,-
Ø
Pada format contribution margin, terdapat
istilah manufacturing margin. Istilah itu digunakan untuk menyebut penjualan
dikurangi harga pokok penjualan variabel. Manufacturing margin dikurangi biaya
non produksi variabel adalah contribution margin. Contribution margin dapat
dihitung secara langsung dengan mengurangkan seluruh biaya variabel (produksi
dan non produksi) dari hasil penjualan. Pembedaan antara manufacturing margin
dan contribution margin ini sering dibuat agar manajemen dapat dengan mudah
mengevaluasi secara terpisah prestasi kegiatan berproduksi dari fungsi
penjualan dan administrasi
Ø Format
contribution margin, menurut para pendukungnya dapat membedakan antara cost of doing business dan cost of being in business. Cost of doing business tampak pada
biaya-biaya variabel yang dikurangkan dari penjualan, yang naik dan turun
sebanding dengan kenaikan dan penurunan tingkat kegiata. Sebaliknya cost of being in business tampak pada
biaya-biaya tetap yang dikurangkan dari contribution margin. Biaya tetap ini
menunjukkan biaya kapasitas yang dibutuhkan tanpa mengacuhkan volume kegiatan.
Ø Menurut
informasi dari dua laporan rugi-laba yang disusun dengan metode yang berbeda
tampak dengan jelas bahwa laba bersih perusahaan adalah sama. Kondisi demikian
terjadi jika produksi pada tahun tertentu terjual seluruhnya dan pada awal
periode tidak ada persediaan.
3. Laba
Bersih
Ø Perbedaan
yang keempat antara variabel costing dan absorption costing adalah laba bersih
pada periode tertentu jika jumlah unit yang diproduksi berbeda dengan jumlah
unitbyang terjual.
Ø Untuk
mempermudah pemahaman, berikut adalah contoh dengan menggunakan data perusahaan
XYZ diatas dengan modifikasi sebagai berikut:
Persediaan awal
Produksi
Penjualan
Persediaan akhir
|
2014
|
2015
|
2016
|
||
Dalam unit produk
|
|||||
0
|
2.000
|
1.000
|
|||
10.000
|
11.000
|
13.000
|
|||
8.000
|
12.000
|
12.500
|
|||
2.000
|
1.000
|
1.500
|
|||
Ø Laba
bersih tahunan menurut varibel costing dan absorption costing dari tahun 2014
sampai tahun 2016 dapat dilihat pada laporan-laporan berikut. Analisis
perbedaan labanya dapat diikuti pada penjelasan berikut.
Ø Perbedaan Laba Bersih 2014.
Perhatikanlah dengan seksama bahwa laba bersih menurut varibel costing adalah
Rp. 40.000,- lebih kecil darim pada laba bersih menurut absorption costing.
Selisih ini disebabkan variabel costing mengakui seluruh overhead tetap Rp.
250.000,- sebagai periode cost, sedangkan absorption cost tidak mengakui
seluruh overhead tetap tersebut. Bagian yang tidak diakui oleh absorption
costing adalah overhead tetap yang melekat pada persedian akhir. Overhead tetap
yang melekat pada persediaan akhir 2014 adalah 2.000 x Rp. 20,- = Rp. 40.000,-.
Dengan demikian, overhead tetap yang ditandingkan dengan pendapatan tahun 2014
menurut absorption costing hanyalah Rp. 210.000,- (Rp. 250.000,- - Rp.
40.000,-). Oleh karena biaya yang diakui apada tahun 2014 menurut variabel
costing lebih besar., laba bersih menurut metode tersebut adalah lebih kecil.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari contoh tersebut adalah jika dalam tahun
tertentu jumlah unit yang diproduksi tidak seluruhnya terjual, maka laba bersih
variabel costing lebih kecil dari pada laba bersih absorption costing.
Ø Perbedaan Laba Bersih 2015. Laba
bersih tahun 2015 menurut variabel costing Rp. 1.214.000,- dan menurut
absorption costing Rp. 1.194.000,-. Selisih laba bersih adalah Rp. 20.000,-.
Penyebab selisih ini ada dua hal.
a.
Overhead tetap Rp. 250.000,- diakui seluruhnya
oleh variabel costing sebagai biaya pada tahun 2015. Sedangkan Rp. 20.000,-
dari jumlah tersebut dari jumlah tersebut, oleh absorption costing dianggap
masih melekat pada persediaan akhir. Oleh karena itu, jumlah Rp. 20.000,-
tersebut ditangguhkan pembebanannya dari tahun2015.
b.
Overhead tetap tahun 2014 yang melekat pada
persediaan awal 2015 sebesar Rp. 40.000,- oleh absorption costing diakui
sebagai biaya pada tahun 2015, karena realisasi penjualannya baru terjadi pada
tahun 2015. Pengakuan seperti ini tidak dilakukan oleh variabel costing.
Ø Penyebab
pertama mengakibatkan biaya tahun 2015 menurit variabel costing lebih besar
sehingga laba bersihnya lebih kecil Rp. 20.000,-. Penyebab kedua mengakibatkan
biaya tahun 2015 lebih kecil sehingga laba bersihnya lebih besar Rp. 40.000,-.
Dengan demikian, secara total, laba bersih menurut variabel costing lebih besar
Rp. 20.000,-. Dari kasus tahun 2015 ini kesimpulan yang dapat ditarik adalah
sebagai berikut. Jika pada suatu tahun persediaan akhir lebih kecil daripada
persediaan awal maka laba bersih menurut absorption costing lebih kecil.
PERHITUNGAN RUGI-LABA MENURUT
VARIABEL COSTING DAN ABSORPTION COSTING
TAHUN 2014
VARIABEL COSTING
|
ABSORBTION COSTING
|
||||
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Manufacturing Margin
Biaya Administrasi& Penjualan Variabel
Contribution Margin
Biaya Tetap:
Administrasi
Penjualan
Overhead Pabrik
|
Rp.
500.000,-
Rp. 1.000.000,-
Rp.
250.000,- (+)
|
Rp. 2.400.000,-
Rp.
360.000,-
Rp. 2.040.000,-
Rp.
64.000,-
Rp. 1.976.000,-
Rp. 1.750.000,-
|
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Overhead Kurang Dibebankan
(10.000 – 12.500) @ Rp.20,-
HPP sesungguhnya
Laba Bruto
Biaya Operasional:
Administrasi
Penjualan
|
Rp. 520.000,-
Rp.
50.000,-
Rp.
524.000,-
Rp. 1.040.000,-
|
Rp. 2.400.000,-
Rp. 570.000,-
Rp. 1.830.000,-
Rp. 1.564.000,-
|
Laba Bersih
|
Rp.
226.000,-
|
Laba Bersih
|
Rp.
266.000,-
|
Perhitungan
harga Pokok Penjualan:
Variabel Costing
|
Absorption Costing
|
||
Persediaan awal
Produksi:
Tersedia Dijual
Persediaan Akhir:
|
10.000 x Rp. 45,-
10.000 x Rp. 65,-
2.000 x Rp. 45,-
2.000 x Rp. 65,-
|
0,-
450.000,-
450.000,-
90.000,-
|
0,-
650.000,-
650.000,-
130.000,-
|
Harga Pokok Penjualan
|
360.000,-
|
520.000,-
|
HPP
variabel costing merupakan HPP sesungguhnya karena tidak terdapat pembebanan
lebih (kurang) overhead.
PERHITUNGAN RUGI-LABA MENURUT
VARIABEL COSTING DAN ABSORPTION COSTING
TAHUN 2015
VARIABEL COSTING
|
ABSORBTION COSTING
|
||||
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Manufacturing Margin
Biaya Administrasi& Penjualan Variabel
Contribution Margin
Biaya Tetap:
Administrasi
Penjualan
Overhead Pabrik
|
Rp. 500.000,-
Rp. 1.000.000,-
Rp.
250.000,- (+)
|
Rp. 3.600.000,-
Rp. 540.000,-
Rp. 3.060.000,-
Rp. 96.000,-
Rp. 2.964.000,-
Rp. 1.750.000,-
|
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Overhead Kurang Dibebankan
(11.000 – 12.500) @ Rp.20,-
HPP sesungguhnya
Laba Bruto
Biaya Operasional:
Administrasi
Penjualan
|
Rp. 780.000,-
Rp. 30.000,-
Rp.
536.000,-
Rp. 1.060.000,-
|
Rp. 3.600.000,-
Rp. 810.000,-
Rp. 2.790.000,-
Rp. 1.596.000,-
|
Laba Bersih
|
Rp.
1.214.000,-
|
Laba Bersih
|
Rp.
1.194.000,-
|
Perhitungan
harga Pokok Penjualan:
Variabel Costing
|
Absorption Costing
|
||
Persediaan awal
Produksi:
Tersedia Dijual
Persediaan Akhir:
|
2.000 x Rp. 45,-
2.000 x Rp. 65,-
11.000 x Rp. 45,-
11.000 x Rp. 65,-
2.000 x Rp. 45,-
2.000 x Rp. 65,-
|
90.000,-
495.000,-
585.000,-
45.000,-
|
130.000,-
715.000,-
845.000,-
65.000,-
|
Harga Pokok Penjualan
|
540.000,-
|
780.000,-
|
PERHITUNGAN RUGI-LABA MENURUT
VARIABEL COSTING DAN ABSORPTION COSTING
TAHUN 2016
VARIABEL COSTING
|
ABSORBTION COSTING
|
||||
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Manufacturing Margin
Biaya Administrasi& Penjualan Variabel
Contribution Margin
Biaya Tetap:
Administrasi
Penjualan
Overhead Pabrik
|
Rp. 500.000,-
Rp. 1.000.000,-
Rp. 250.000,-
(+)
|
Rp. 3.750.000,-
Rp.
562.500,-
Rp. 3.187.500,-
Rp.
100.000,-
Rp. 3.087.500,-
Rp. 1.750.000,-
|
Penjualan
Harga Pokok Penjualan
Overhead Kurang Dibebankan
(13.000 – 12.500) @ Rp.20,-
HPP sesungguhnya
Laba Bruto
Biaya Operasional:
Administrasi
Penjualan
|
Rp.812.500,-
Rp. 10.000,-
Rp.
537.500,-
Rp. 1.062.500,-
|
Rp. 3.750.000,-
Rp. 802.500,-
Rp. 2.947.500,-
Rp. 1.600.000,-
|
Laba Bersih
|
Rp.
1.337.500,-
|
Laba Bersih
|
Rp.
1.347.500,-
|
Perhitungan
harga Pokok Penjualan:
Variabel Costing
|
Absorption Costing
|
||
Persediaan awal
Produksi:
Tersedia Dijual
Persediaan Akhir:
|
1.000 x Rp. 45,-
1.000 x Rp. 65,-
13.000 x Rp. 45,-
13.000 x Rp. 65,-
1.500 x Rp. 45,-
1.500 x Rp. 65,-
|
45.000,-
585.000,-
630.000,-
67.500,-
|
65.000,-
845.000,-
910.000,-
97.500,-
|
Harga Pokok Penjualan
|
562.500,-
|
812.500,-
|
Ø Perbedaan Laba Bersih 2016. Laba bersih tahun 2016
menurut variabel costing Rp. 1.337.500,- dan menurut absorption costing Rp.
1.347.500,-. Selisihnya Rp. 10.000,- karena dua hal:
a.
Absorption costing menangguhkan pembebanan biaya
overhead tetap Rp. 30.000,- (1.500 x Rp. 20,-) yang melekat pada persediaan
akhir sampai tahun 2016. Hal ini menyebabkan laba bersih menurut absorption
costing lebih tinggi.
b.
Absorbtion costing membebankan overhead tetap
Rp. 20.000,- yang melekat pada akhir tahun 2015 menjadi biaya ditahun 2016.
Halm ini mengakibatkan biaya menurut absorption lebih tinggi, dank arena itu, laba
bersihnya lebih rendah. Secara total, laba bersih menurut absorption costing
lebih tinggi Rp. 10.000,-.
Ø Dari
kasus terakhir ini, kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagai berikut. Jika
persediaan akhir lebih besar daripada persediaan awal, maka laba menurut
absorption costing lebih besar.
Ø Dari
kasus selama tiga tahun pada Perusahaan XYZ diatas, kesimpulan akhir yang dapat
ditarik mengenai perbedaan laba bersih menurut dua metode penentuan harga pokok
adalah sebagai berikut. Selisih laba
bersih disebabkan oleh selisih volume persediaan. Formula yang digunakan
untuk menghitung selisih ini adalah:
Selisih Laba Bersih = Selisih Volume Persediaan x Tarif
Overhead Tetap Standar Per Unit
|
Ø Apabila
persediaan akhir lebih besar daripada persediaan awal, maka laba menurut
absorption costing lebih besar daripada laba menurut variabel costing.
Sebaliknya, apabila persediaan akhir lebih kecil daripada persediaan awal maka
laba menurut absorption costing lebih kecil daripada laba menurut variabel
costing. Sebagai contoh, perhatikan kasus tahun 2016. Persediaan akhir adalah
1.500 unit dan persediaan awal adalah 1.000 unit. Oleh karena tariff overhead
tetap standar per unit adalah Rp. 20,-, laba bersih menurut absorption costing
Rp. 10.000,- lebih besar daripada laba laba menurut variabel costing. Dengan
menggunakan rumus di atas, selisih laba bersihnya dihitung sebagai berikut:
Selisih Laba Bersih = (1.500 – 1.000) x Rp. 20,-
=
Rp. 10.000,-
Ø Hasil
perhitungan diatas dapat dicocokkan dengan laporan rugi-laba sebelumnya.
MANFAAT
DAN KETERBATASAN PENENTUAN HARGA POKOK VARIABEL
Manfaat:
1. Penentuan
harga pokok variable memaksa manajemen untuk mengevaluasi pola perilaku biaya
untuk masing-masing jenis biaya. Dengan mengetahui pola perilaku biaya
tersebut, maka manajemen sadar mengenai sensitivitas biaya terhadap perubahan
dalam tingkat aktivitas.
2. Laporan
rugi laba dengan format contribution margin hamper mengikuti pemikiran
manajemen tentang prestasi laba karena laba bersih adalah fungsi penjualan,
bukan kombinasi tertantu dari produksi dan penjualan.
3. Informasi
yang diperlukan untuk analisis biaya-volume-laba dapat diperoleh secara
langsung dari laporan rugi laba , tanpa harus melakukan analisis khusus yang
terpisah dari laporan rugi laba.
4. Pengaruh
atau dampak biaya tetap terhadap laba mendapat perhatian lebih karena biaya
tetap seluruhnya diperlakukan sebagai biaya periode dan dilaporkan pada satu
tempat tertentudi laporan rugi laba, tidak tersebar di seluruh bagian laporan
tersebut.
5. Penentuan
harga pokok variable menyajikan dasar untuk menyiapkan anggaran fleksibel yang
memisahkan biaya variable dan biaya tetap.
6. Oleh
karena biaya-biaya variable dan tetap dipisahkan, maka penentuan harga pokok
variable membantu manajemen dalam pengambilan keputusan, seperti perencanaan
laba, pengendalian biaya, penentuan harga jual untuk pesanan khusus dan alokasi
sumber daya.
Keterbatasan:
1. Pemisahan
pola perilaku biaya menjadi biaya variable dan tetap sebenarnya sulit dan
hasilnya hanya merupakan taksiran.
2. Penentuan
harga pokok variable tidak dapat digunakan untuk pelaporan eksternal atau untuk
pelaporan pajak.
3. Penentuan
harga pokok variable dapat member kesan yang menyesatkan bahwa hanya
seakan-akan hanya biaya variable yang harus dipertimbangkan dalam penentuan
harga jual. Dalam jangka panjang baik biaya variable maupun biaya tetap, harus
dipertimbangkan.
4. Persediaan
di neraca yang dinilai dengan penentuan harga pokok variable akan dinyatakan
terlalu rendah dari biaya total yang diperlukan untuk memproduksi persediaan
dan pelbagai ukuran likuiditas seperti modal kerja dan perbandinganya terhadap
kewajiban lancar menjadi jelek.
agar semakin mantap, silahkan baca beberapa artikel yang saya lampirkan dengan meng-klik INI dan INI
agar semakin mantap, silahkan baca beberapa artikel yang saya lampirkan dengan meng-klik INI dan INI